" Ketika Jiwa Raga Berada di Titik Terbawah "

TITIK NADIR ATAU TITIK BALIK?




  Setiap manusia, atau bahkan sesama mahluk hidup yang bernyawa pernah berada di titik paling bawah dalam kehidupannya. Mungkin untuk 'kaum' tumbuhan, adanya kekeringan panjang, atau bahkan sebaliknya hujan badai yang tak kunjung henti. Pun sama jika kita ibaratkan pada 'kaum' hewan, kondisi alam yang ekstrim, kehilangan anggota keluarga karena pemburuan liar atau dimakan oleh pemangsa. Yaah, seperti itulah kira-kira.

       Bedanya dengan kita kaum atau bangsa manusia, semua yang terjadi mempengaruhi akal pikiran sampai pada kondisi luar dalam secara menyeluruh. Yang lebih sulit adalah ketika kondisi psikologis kita 'dipaksa' untuk tetap bertahan menjalani setiap alur kehidupan.Perasaan marah, sedih, kecewa, benci, hampir menyerah dan tak terarah bertubi-tubi datang. Membuat kita merasa berada di titik nadir. Antara ingin mati tapi masih terlalu banyak beban yang ditanggung untuk  dibawa pergi dari dunia ini. Belum lagi soal dosa dan siksa yang nanti harus diterima karena memutuskan untuk mengakhiri nyawa sendiri tanpa seizinNya. Jikapun tetap hidup, apa dan bagaimana seakan semua panca indera telah tertutup oleh kegelapan.

      Sayapun pernah mengalaminya, bukan sebulan atau dua bulan. Juga bukan setahun atau dua tahun. Badai itu datang di akhir tahun 2014 sampai sekarang bahkan belum sepenuhnya berlalu.Semua perasaan dan emosi berbaur, bercampur aduk, menciptakan siluet yang tak beraturan. Saat masih ada setitik iman, mata batin yang terdalam menegarkan diri sendiri bahwa semua ini hanya ujian dan pasti akan berlalu berganti menjadi pelangi yang sangat indah.

     Tapi saat kegelapan hati semakin menyelimuti. Tanpa ada satupun yang bisa merangkul, bahkan orang terkasih, sahabat , keluarga, semua itu sungguh sangat menyakitkan dan menyedihkan. Kau harus bisa bangkit dengan kekuatanmu sendiri, tak peduli seberapa besar hal buruk dan yang menyakitkan hati datang bertubi-tubi.

     Sebagian kecil dari manusia, yang masih dilindungi oleh PenciptaNya akan menjadikan semua ini sebagai titik balik kehidupannya. Katakanlah perasaan sedih, kecewa, marah, hancur menjadikan dirinya semakin kuat dan bijaksana. Kita akan tahu siapa yang benar-benar peduli atau hanya sekedar ingin tahu, bahkan menjadi penonton pada  saat kita terjatuh dan berusaha bangkit.

    Saya merasakannya, saat rasanya ingin ada satu tangan saja yang meraih untuk meminjamkan kekuatan. Tapi untuk mencari seperti itu adalah hal yang hampir mustahil. Di saat kita merasakan sendiri, mungkin memang Tuhan sedang rindu dan ingin agar Dia Sendirilah yang menuntun kita secara langsung.

    Sayangnya, saya adalah tipe orang yang labil. Adakalanya saat 'peri baik' yang lebih dominan mengarahkan untuk tetap bersabar dan menjadikan ini semua adalah titik balik kehidupan agar menjadi pribadi yang bijak menghadapi hidup. Karena sejatinya dunia ini hanyalah ujian, setiap kesenangan dan kesedihan pada akhirnya menentukan kualitas keimanan seseorang apakah ia tetap bersabar dan bersyukur dan berjalan lurus walau tertatih-tatih atau bahkan ngesot katakanlah begitu. Atau sebaliknya...

      Yaaah, atau sebaliknya. Karena jika terus-menerus dihantam oleh sesuatu yang tidak mengenakan bertubi-tubi. Saat 'peri jahat' berhasil mengusai hati dan pikiran yang mulai kosong, hampa, lelah, hilang arah dan tujuan maka semua yang terlihat hanyalah kekosongan dan kehampaan.
Berapa banyak kata-kata mutiara cantik dan bijak yang  dibacapun seakan berubah menjadi dongeng belaka, begitu juga berapa banyak support dan nasehat semua itu kadang tidak membantu apa-apa dari dalam. Karena yang merasakan secara langsung ya kita sendiri, orang lain belum tentu mengalami kalaupun mengalami pasti setiap detil masalah dan kondisi pisik maupun mentalnya  juga berbeda. Tetap saja, kita sendiri yang bisa memutuskan apakah harus menyerah dan menganggap semuanya sebagai titik nadir  ataukah tetap kuat bersabar, tawakal dan menjadikan semua 'kebuntuan' sebagai titik balik.

     Pada akhirnya, mau tidak mau kitalah yang terus belajar, semakin kuat tanpa disadari, semakin bijaksana memandang kehidupan. Karena saat berada di titik jenuh, yang ada hanya bisa pasrah menjalani semuanya dengan penuh tawakal. Perlahan kita menyadari satu hal bahwa mengikhlaskan segala bentuk rasa sakit, kemarahan, kekecewaan, atau bahkan kebencian maka ibarat jiwa dan raga ini membentuk antibodi sendiri semuanya akan bisa dihadapi dengan harapan baru.

    Saya sendiri masih berkutat dengan 'peri baik' dan 'peri jahat' , tapi siapapun di dunia ini yang sedang mengalaminya semoga walau sedikit dan remang-remang cahaya keimanan  akan tetap menjaga kita untuk tetap 'bertahan hidup' . Seiring berjalannya waktu, tentu dengan kepasrahan dan berbaik-sangka pada setiap kehendakNya semua perasaan yang tidak mengenakan akan melebur menjadikannya sebagai pemicu untuk tetap bersabar menjalani hari-hari. Lakukanlah setidaknya untuk buah hati kita ( utamanya bagi yang telah menjadi seorang bunda ), atau biarkalah  tetap menjadi doa bahwa semua hal buruk yang kita alami setidaknya mengurangi timbangan dosa. Aamiin.


   "Bebaskanlah jiwa dan ragamu dari beban , ikhlaskan semua rasa sakit, semoga dengan berjalannya waktu kita bisa belajar untuk memaafkan kebencian. Hati dan hidup kita terlalu berharga untuk terus mengurung diri dalam kehampaan. Sisanya  serahkan pada Tuhan sambil menunggu keajaiban".

     Setidaknya itulah hal yang bisa saya katakan ketika rasa jenuh menumpuk, semoga kita semua selalu diberikan kesabaran. Aamiin Ya Rabbal Alamin

Jakarta, Dalam Heningnya Malam
28 Sept 2017, 02.31






                        


Postingan populer dari blog ini

Independent Woman

Weekend

Ambang Batas4