I (try) Love My Self Part2

Mencintai diri sendiri itu tidaklah mudah. Karena artinya kita harus menerima paket komplit diri kita apa adanya. Manusia terlahir dari perpaduan genetik kedua orang tua mereka. Dan kita tidak bisa memilih itu. Orang tua hanya pelantara memberikan 'modal awal' pada kita untuk berkembang, entah secara kepribadian, karakter maupun fisik. Sudah tentu ada kelebihan dan juga kekurangan yang telah diwariskan. Kita hanya bisa meminimalisir kekurangan tersebut, tapi tidak untuk menyangkalnya. 

Menerima berarti semua hal tanpa terkecuali. Dan yang paling berat adalah menghadapi kekurangan. Tidak semua orang bisa dengan mudah menaklukan sisi minus tersebut. Satu hal yang terpenting adalah, diri kita yang sekarang terbentuk (selain dari faktor genetik yang sudah diwariskan kedua orang tua) juga dari lingkungan sekitar. Ditambah adanya berbagai persoalan hidup dari paling ringan sampai terberat. Itu adalah diri kita. 

Dalam masa perkembangan, menemukan jati diri juga tujuan hidup. Manusia dihadapkan dengan masalah, macam-macam karakter, juga fitrahnya sebagai hamba Tuhan. Ya, keimanan paling dominan menentukan akan menjadi manusia seperti apa. Semua adalah pilihan. Namun, jelas tidak akan semudah membalikan telapak tangan. Karena pada kenyataannya, dunia hanyalah panggung belaka. 

Sampai saat ini pun gue masih mencari arti dari kehidupan itu seperti apa. Terlepas dari fitrah Tuhan, manusia mempunyai hawa nafsu yang membuat berbagai hal tidak mudah untuk mencapai fitrah sejatinya. Semua agama mengajarkan kebaikan. Dan setiap orang sudah tentu mempunyai alur cerita masing-masing. 

Hal yang paling dilupakan adalah kita cenderung memvonis kehidupan orang lain, tetapi tidak berpikir apa saja yang telah mereka lalui dan juga yang sudah mereka lewati. Kita tidak bisa menyamaratakan sudut pandang dari diri kita sendiri. Bahkan dalam hukum pun ada azaz praduga tak bersalah. Itu cukup menjadi landasan agar kita tidak memandang persoalan dari satu sudut pandang saja. 

Ketika remaja, gue cenderung melihat seseorang dari penampilan luar. Meski memang benar bahwa kesan pertama sangatlah penting dalam bersosial. Namun seiring berjalannya waktu, gue melihat orang lain dari perpekstif yang berbeda. Seseorang yang tinggal di lingkungan kondusif sangat berbeda dengan orang yang hidup di lingkungan complicated. 

Justru jangan salah, orang-orang yang hidupnya menghadapi begitu banyak tekanan dan masalah. Entah fisik maupun mentalnya akan jauh lebih kuat karena dia terbiasa/ dipaksa untuk tetap survive. Dalam perjalanannya menemukan jati diri, dengan sendirinya orang tersebut lebih bijaksana menilai orang lain di sekitarnya. 

Ketika, bersosialisasi dengan sesama manusia lainnya. Adakalanya kita menemukan fakta terburuk. Sampai pada titik dimana hanya bisa berjuang sendirian. Gue sering berpikir, jika memang fitrah manusia hanya ditakdirkan dengan satu tujuan untuk beribadah kepada Tuhan saja. Mengapa diciptakan hawa nafsu? Cangkupannya begitu luas, hawa nafsu disini termasuk ambisi, impian, cinta, atau apapun yang bersifat keinginan individual. Dan itu jelas memerlukan manusia lain sebagai partner. 

Tidak cukup hanya memiliki orang tua saja. Sebesar apapun bentuk cinta dan kepedulian mereka pasti ada batasannya juga. Begitu pula teman/sahabat/keluarga. Tidak akan ada yang terus menerus ada untuk tetap disamping kita. Lebih-lebih keturunan, justru kita dituntut agar tetap menjadi penyemangat mereka. Jika beruntung partner itu adalah pasangan kita. Lalu bagaimana jika pasangan pun tidak bisa? 

Ini yang jadi persoalannya.

Ketika seseorang memutuskan untuk menikah. Kebanyakan mereka berpikir bahwa tujuan hidupnya sudah tercapai. Justru baru saja dimulai. Menikah dalam periode lama, semakin membuka pemikiran itu adalah 'medan tempur' yang sesungguhnya. 

Yang ingin gue garis bawahi disini, ketika seseoang mencapai klimaks dalam kehidupannya. Dia akan menyadari bahwa pasangan sekalipun tidak bisa terus menerus dijadikan partner segala hal. Di titik inilah, mata hati kita akan dibuka bahwa yang paling mendasar justru menempatkan diri kita di atas segala-galanya. Ini yang gue maksudkan agar kita lebih sadar untuk mencintai diri sendiri. 

Mencintai diri sendiri sangat jauh artinya dengan keegoisan. Namun, beberapa kasus terkadang menempatkan seseorang untuk memilih kepentingan dirinya ketimbang 'menyenangkan' orang di sekitar. Bukan tanpa sebab, beberapa hal menjadikannya tidak punya pilihan. Mungkin karena cenderung diabaikan, tidak diprioritaskan, dianggap sebelah mata, dihina, dianggap berbeda dan seterusnya. 

Dari fakta-fakta ini pula, gue belajar membenarkan bahwa mencintai diri sendiri itu penting dilakukan. Selain menerima kita apa adanya, ini juga termasuk belajar untuk memaafkan diri sendiri terhadap kesalahan, kekacauan ataupun masalah yang telah ditimbulkan. Percayalah, memaafkan diri kita atas semua kekacauan yang telah terjadi justru lebih sulit. 

Ketika gue merasakan hal tersebut, dunia seakan gelap gulita. Apapun yang kita lakukan seperti tidak ada artinya. Dan ini pemikiran yang salah. Gue sendiri masih terpaku pada hasil yang didapatkan ketimbang melihat sejauh apa diri gue sudah berkembang. 

Maka, ketika perasaan bersalah mulai muncul. Gue kembali mengingatkan diri sendiri bahwa tanpa sadar gue sudah 'tumbuh'. Dan jika bukan kita yang mengakui pencapaian tersebut, siapa lagi? Penilaian atas keberhasilan kita (segi apapun itu) di mata orang lain, tetaplah dilihat dari hasil akhir. Mereka cenderung menempatkankan reward atas pencapaian bagus, sebaliknya jika tidak memenuhi standar dari penilaian tersebut, kita pun akan buruk dengan sendirinya dimata mereka. 

Jelas bukan? Hanya diri kita sendirilah yang pada akhirnya harus memberikan 'reward' terhadap proses apa saja yang berhasil dilewati. Meskipun hasil yang didapatkan tidak bisa memenuhi nilai/ standar penglihatan orang lain di sekitar. Memang menyedihkan ketika tidak ada satu orang pun yang mau melihat sisi tersebut. Namun, saat perasaan tersebut muncul kita harus bisa mengembalikan semua itu pada diri sendiri. Bahwa tanpa kita sadari, kita telah tumbuh. Kita jauh lebih kuat dari sebelumnya. 

Ya, gue pun seringkali mengingatkan diri sendiri. Tidak peduli apa nilai pencapaian yang orang lain lihat, toh gue sudah pernah melewati berbagai hal. Ketika sudah dalam tahap mencintai diri sendiri, maka terciptalah keinginan untuk mencari kebahagiaan tersebut. Karena faktanya kebahagiaan memang bukan untuk dicari tapi diciptakan. Langkah pertama adalah dengan menyingkirkan apa-apa saja hal yang bisa menghambat kita untuk merasa bahagia. 

Belajar menikmati hidup, tentu tidaklah mudah. Kita hanya perlu mencari celah sedikit agar kita menemukannya. Satu lagi yang penting, kita tidak harus membuktikan apapun dan pada siapapun. Karena penilaian orang hanya cenderung pada hasil yang bagus, selebihnya tidak begitu penting. Dalam tahap ini, kita bisa melihat siapa yang memang benar-benar peduli. 


Postingan populer dari blog ini

Independent Woman

Weekend

Ambang Batas4