I love you but I hate you "Myself"!!!

Orang bilang nggak ada yang lebih mengenal kita selain diri sendiri. Itu benar. Gue bosen curhat di aplikasi diary gue, sesekali pengen gue posting di sini. Kali aja ada yang baca, syukur-syukur ada yang bisa mengambil hikmah dari curhatan gue. 

Seringkali, ampir tiap saat mungkin ... gue kadang benci sama diri gue sendiri yang selalu gagal dalam hal apapun. Tapi di saat yang sama, gue juga sangat mencintai diri gue yang sekarang saat ingat kalau di bandingkan diri gue yang dulu, gue sekarang amat jauh lebih kuat secara mental terlebih fisik. 

Lahir sebagai anak paling bontot menjadikan gue pribadi yang manja dan melow. Nyokap gue tipe ibu yang lembut dan nggak pernah ngebentak. Nggak pernah maksa gue buat bantu beres-beres rumah juga. Kerjaan gue semasa sekolah ya cuma sekolah maen itu-itu aja. 

Gue nggak pernah ngerasain kerja keras. Bagi nyokap gue yang penting ga ninggalin sholat n tetep belajar. Dan semasa gue sekolah, itu adalah masa-masa emas dalam hidup gue. Gue banyak ikut aktif di berbagai ekskul juga orgnanisasi. Bahkan gue juga pernah megang kepemimpinan entah sebagai ketua maupun wakilnya. Gue juga punya begitu banyak sahabat n teman. Meski kebanyakannya cowok karena gue waktu itu tomboy amat jauh dari kata feminim. 

Pas gue ketemu ma ayangbeb (suami gue), barulah gue berubah jadi lebih feminim biar sedikit. Waktu itu dia memperlakukan gue udah kek putri raja, beliin gue baju2 cewek, dst. Makanya pas dia ngajakin gue maried, gue mikir keras apa gue bakal nemuin cowok yang kayak begitu lagi? 

Perang batin waktu itu, karena mimpi gue meraih masa depan masih membara. Gue masih ingin kuliah sambil kerja dst. Melihat rasa cintanya yang begitu besar, gue akhirnya sampai pada satu keputusan bahwa gue mau nikah ma dia di usia pas 20 tahun. Gue begitu yakin dan percaya ama dia, karena dia sangat mencintai gue. Dan nggak ada yang nunjukin sikap selembut juga setulus itu sama gue, jadi gue yakin dia bakal bahagiain gue dengan cintanya. 

Gue ga silau harta dunia, karena yang gue kejar dari dulu adalah kebahagiaan yang bersifat batiniah. Gue juga nggak takut hidup susah karena gue lihat dia mau bekerja keras. 

Hhhh, seiring berjalannya waktu ... Ternyata ucapan orang benar adanya. Kalo nikah itu ga cukup makan cinta. Ya, gue bisa bilang 100 persen itu benar. Kalau urusannya udah nyangkut soal duit ya tetep aja puyeng. Pernikahan itu jangka panjang. Ada yang bilang ibadah seumur hidup. 

Apalagi sudah punya anak, kebutuhan nggak berkutat pada diri sendiri. Hampir 16 tahun menjalani pernikahan, ada begitu banyak suka dan dukanya. Dan jujur gue masih belum berada di jalur yang benar. Maksud gue, menganggap pernikahan adalah sebuah ibadah itu bukanlah hal yang mudah gue lakukan sampai saat ini. 

Karena artinya, gue harus ikhlas. Nggak mengharapkan timbal balik dari suami atau anak-anak. Ibadah, ikhlas dalam sudut pandang gue itu artinya apapun yang dilakukan semata-mata hanya mengharapkan ridho Tuhan. Tok! Nggak ada embel-embel lain lagi toh? 

Gue masih jauh ke arah sana. Apalagi dulu kala gue menikah atas dasar sama-sama bucin. Pada prakteknya, menurut gue, karakter seseorang mengambil sebagian besar peran. Sama kek iman, alur pernikahan pasti ada naek-turunnya. 

Akan jauh lebih mudah kalo karakter yang di wariskan ke gue adalah kepribadian nyokap gue. Bahkan hati gue seringkali teriris kalo inget nyokap gue, bagaimana bisa selama puluhan tahun hidup dengan keadaan serba kekurangan, cobaan berat bertubi-tubi, juga didera penyakit yang nggak biasa tapi nyokap gue tetap tabah dan terus rajin beribadah. 

Sementara gue, mengalami begitu banyak kesulitan dan cobaan udah memberontak, depresi, hilang arah bahkan gue sempat nggak tahu siapa gue. Gue kek kehilangan jati diri dan tujuan hidup. Gue hanya mewarisi bagian luar nyokap gue, secara fisik. Tapi pribadinya amat sangat jauh berbeda. 

Mungkin dari bokap gue, enggak juga. Meski sebagian besar karakernya turun ke gue, tapi gue mensyukuri apa yang udah di wariskan ke gue. Pemikirannya, sikap bijaksananya, banyak lagi hal positif yang gue miliki dari bokap gue. 

Bagi gue, keduanya adalah orang tua yang hebat. Dan hal yang sangat menyedihkan karena posisi gue nggak pernah ada buat nolong mereka. Jadi, yang bisa gue lakukan hanya sebisa mungkin menyelesaikan masalah idup gue tanpa harus membebani bokap n nyokap gue. 

Tanpa sadar, pasca menikah menjadikan diri gue terlalu bersandar dan berharap banyak ke laki gue. Apalagi gue hidup merantau jauh dari kedua orang tua. Hanya saja, kebetulan gue dihadapkan dengan kepribadian yang bertolak belakang. Bahkan, kalo dipikir-pikir gue dan laki gue banyak ga samanya. 

Gue orangnya melow, senang manja-manjaan. Laki gue cuek bebek, nggak senang show to publik. Gue penakut, jam 11 malam sepi ae padahal di rumah udah horor ke kamar mandi. Laki gue bisa gadang semalaman jagain kantor sendirian. Gue nggak bisa menanggung beban sendiri mesti aja cerita ma orang, laki gue selalu menyimpan masalah dan bebannya sendiri. Belom masalah makanan, gue demennya manis, dia demennya pedes bikin sambel harus tiap hari dari keasinan sampe gue pro ngulek-ngulek. 

Ah banyak, gue nggak suka terus terang coz terlalu ngejaga perasaan orang lain. Dia masa bodoh, bicara apa adanya. Gue imut, dia jutex judez. Dahlah bertolak belakang semuanya. Termasuk silsilah keluarga, dia anak sulung gue mah bontot alias bungsu. 

Sebagian besar orang banyak yang salah menilai kehidupan gue dari luarnya saja. Secara logika, harusnya gue hidup enak. Tinggal di Jakarta nggak ngontrak itu sudah nasib yang bagus. Suami punya kerjaan tetap walau masih honorer dan tiap tahun perpanjang kontrak tapi penghasilan per bulan ada. Di tambah gue bisa nyambi di kantin buat nambah penghasilan. Kurang apa lagi?

Ada masanya gue beradaptasi dengan kehidupan yang 180 derajat sama kehidupan gue sebelum menikah. Gue termasuk tipe anak manja n anak mamih, katakanlah begitu. Karena gue nggak pernah bisa jauh dari nyokap gue. Begitu juga dengan bokap gue, bagi bokap gue kerjaan yang membutuhkan tenaga ya tugas laki. Jadi, ketika sudah menikah dan gue di suruh ngelola kantin gue bingung nggak tahu harus ngapain. 

Tapi otak gue juga menangkap peluang bagus buat hidup lebih baik ke depannya. Orang-orang pada ingin di posisi gue, sementara gue masa harus ngelepas gitu aja. Seperti masa-masa sekolah, jujur aja meski gue dulu sempat jadi siswa yang berprestasi, tapu gue bukanlah tipe orang yang jenius. Gue cuman mau belajar dan haus akan ilmu pengetahuan. Dan kalau gue udah suka lantas fokus pada satu hal, gue nggak bakalan tanggung-tanggung nyebur. 

Dari pertama kali gue coba kerja keras, ngangkat galon ke dispenser aja berurai air mata. Cius dah. Sampai gue bisa ngelakuin banyak hal. Dari yang nggak bisa masak sama sekali sampai gue jajal semua masakan. Mungkin bagi orang lain itu hal yang biasa. Tapi bagi gue pribadi adalah perkembangan yang luar biasa. 

Karena gue tahu kemampuan juga potensi gue itu bukan kerja keras secara fisik. Latar belakang anak mamih manja yang nggak bisa jauh ma ortu n nggak bisa ngapa-ngapain, bagi gue sebuah pencapaian bagus bisa gue bilang sebuah lompatan cukup besar yang bisa gue ambil dalam beradaptasi dengan kehidupan baru gue pasca menikah. 

Seiring berjalannya waktu pula, gue mengenal laki gue luar dalam. Sama kek dia yang bisa nerima segala kekurangan dan apa adanya gue. Pun sama itu artinya gye harus bisa nerima dia apa adanya. Di awal pacaran juga masa-masa pernikahan mungkin secara ego gue lebih dominan. Maklum lah masih kekanak-kanakan. 

Lebih lama lagi, gue harus beradaptasi dengan watak dan karakter laki gue. Yang cenderung cuek, juga misterius. Bertahun-tahun bersama bahkan sampai sekarang gue nggak pernah bisa menyelami hatinya kek bagaimana. Dia seperti sebuah tembok tinggi yang hampir nggak bisa gue gapai dan mengetahui apa yang ada di baliknya. 

Meski begitu, dia sosok pria yang bertanggung jawab. Jarang mengungkapkan perasaannya tapi sekalinya  nunjukin kepedulian ambyar semuanya. Lumer hati gue. 

Gue di tuntut mandiri dan nggak mengandalkan dia, karena kerjaan laki gue juga seabreg. Intinya secara perkembangan fisik kalau gue bandingkan, gue yang sekarang jauh lebih kuat. 

Ditambah namanya pernikahan, pasti ada aja ujiannya. Gue benar-benar ditempa secara fisik maupun mental setelah menikah. Ada banyak hal yang gue lalui, mungkin membentuk diri gue yang sekarang. Seringkali gue merasa nggak tahu siapa gue. 

Gue belom bisa move on dari masa-masa emas semasa sekolah, dimana gue ngerasain posisi paling puncak. Dan alur hidup gue saat itu menanjak. Gue mikirnya lempeng aja. Setelah lulus sekolah, dimulai gue nggak bisa lanjutin kuliah karena terbentur biaya. Itu hal broken pertama yang gue alami dalam kehidupan. Gue coba cari pekerjaan, masih berharap keajaiban mungkin bisa kuliah sambil kerja dan jadi orang sukses.

Kenyataannya, mencari pekerjaan itu tidak mudah. Gue cuman ngerasain satu bulan jadi waitress, abis tu bantuin tante gue di pesantren. Gue iya-iya aja yang penting gue merantau nggak stuck di kampung, gue masih berharap bisa menggapai cita-cita gue jadi guru. 

Gue pengen banget jadi guru SMA. Tapi ya nggak kesampaian. Akhirnya gue ikut ke Bogor, bantuin tante gue yang ngelola dapur buat ratusan santri. Anak mamih disuruh nyebur ke dapur alamat diketawain waktu itu. Tapi gue coba jalanin. Setelah gue nikah, barulah gue ngeh kenapa Alloh sempat kirim gue 'mampir' disana. 

Karena pasca menikah, gue disuruh ngelola kantin. Jadi nggak terlalu kaget. Meski awalnya sangat kesulitan karena yang gue butuhin itu fisik. Lama-lama terbiasa. Toh rezeki itu jalannya dari mana aja kan. Gue positif thinking aja. Dan ternyata gue bisa. Nyambi nulis malah. Padahal migren gue parah. 

Beberapa kejadian, katakanlah alur tidak terduga banyak berdatangan. Mengubah segalanya. Menjadikan gue kek lari di tempat. Hidup nggak selamanya mulus. Semakin kesini semakin gue sadari kalo jalan hidup gue ternyata penuh rintangan. 

Hampir setiap saat gue dihantui oleh perasaan bersalah, dan gue merasa terbebani dengan itu. Karena gue nggak bisa melakukannya dengan baik. Gue sadar sepenuhnya, laki gue berharap sangat banyak supaya gue bisa memaksimalkan kesempatan yang ada. Tapi yang terjadi malah sebaliknya, gue selalu mengecewakannya. Orang-orang banyak yang ingin ada di posisi gue, sementara gue belum bisa menghasilkan apa-apa. Sekalipun gue udah dengan sangat keras mencoba tapi endingnya udah bisa ditebak kek apa. 

Padahal secara mental gue udah jauh lebih kuat. Pun secara fisik gue sekarang udah terbiasa. Ada beberapa hal yang susah gue jelaskan sekaligus sulit gue runtuhkan. 

Tapi satu hal yang gue sadari, kenapa dulu di masa sekolah gue bisa bersinar? Sekarang malah nyungseb!

Sekeras apapun gue mencoba tetap saja hasilnya sama. Ibarat lari di tempat cuman capeknya doang tapi nggak kemana-mana. Pun sama kek gue selalu terjatuh ke lubang yang sama. Berakhir begitu-begitu juga. 

Gue udah dapat jawabannya. Ternyata, hidup gue harus terorganisir atau terjadwal dengan baik. Gue emang mau berusaha dan belajar juga bisa totalitas dalam suatu hal. Tapi bukan gue bosnya. 

Masa sekolah adalah masa yang terorgnisir dan terjdwal. Senen sampe sabtu dulu mah, terbangun dengan rutinitas dan jadwal membuat gue bisa fokus bahkan mencapai banyak hal di luar ekspektasi. 

Mungkin andai hidup gue sama kek masa sekolah dulu, gue rasa itu akan merubah hidup gue yang sekarang. Katakan gue harusnya bekerja di sebuah perusahaan atau tempat tertentu. Mo gue lagi badmood kek, mo migren gue lagi kumat kek atau gue lagi galau sekalipun karena tuntutan pekerjaan ya gue pasti tetap jalan. 

Dan saat gue dihadapkan dengan satu pekerjaan atau suatu hal, ketika gue fokus pada hal itu maka gue bisa mencapainya. Sama ketika pas naskah gue lolos, gue benar-benar fokus ke tulisan gue ngejar deadline bahkan totalitas nyebur sampe promosiin karya gue bikin banner di canva semacamnya. Diluar ekspektasi gue bisa melakukannya dengan baik. 

Tapi pekerjaan di kantin yang jadi rutinitas harian gue ini. Gue bosnya. Gue nggak punya atasan. Maksud gue, gue yang ngelola sendiri pan. Minusnya disini, ketika lagi badmood, lagi malas, galau, atau hal-hal pribadi lainnya gue jadi stuck disitu. 

Tambah emak-emak kalo masih punya bocil nggak bisa ngapa-ngapain kalau udah kumat rewelnya. Ada banyak titik, terutama yang gue rasain saat ini. Dimana gue merasa nggak berguna dan nggak bisa melakukan dengan baik. Perasaan tertekan juga bersalah selalu menghantui gue. Itu perasaan yang sangat menyiksa. Karena gue merasa semua karena gue yang nggak becus dan efeknya nyebar kemana-mana seperti sebuah domino yang runtuh. 

Meski gue berkoar-koar membela diri agar orang lain mengerti dari sudut pandang gue, itu percuma saja. Karena yang orang lihat itu tok hasilnya. Menjadikan gue merasa benci pada diri sendiri. Tapi, kalau bukan gue sendiri yang menaruh rasa cinta siapa lagi. Gue harus menerima diri gue apa adanya. 

Postingan populer dari blog ini

Independent Woman

Weekend

Ambang Batas4