Ambang Batas 5

Perasaan gue nggak enak. Biasanya hanya ada dua kemungkinan, bakal terjadi sesuatu yang buruk atau sebaliknya. Tapi, karena hidup gue lagi semrawut, jadi kemungkinan besar something bad. Begitu banyak yang harus gue hadapi, namun gue sudah tidak menemukan jalan untuk mengatasinya. Saat semuanya menjadi simpul yang kusut dalam benak gue, rasanya gue ingin menghilang dari muka bumi. Itu adalah bentuk keputus-asaan dari jiwa gue saat ini. 

Mungkin gue bisa saja menghapus semua akun sosmed gue, benar-benar menghilang dari peradaban maya. Termasuk juga blog gue ini, karena gue merasa jadi manusia yang tidak berguna dalam segala hal. Sebagai anak, gue belum bisa membalas jasa kedua orang tua gue. Di saat kondisi mereka susah, gue pun disini berjibaku dengan masalah yang sama. Atau sebagai saudara, kini gue juga tidak bisa membantu apa-apa. Sebaliknya gue yang saat ini sedang membutuhkan uluran tangan. 

Sebagai istri, gue hanya bisa menyusahkan laki gue. Hanya membebani dia, dan belum bisa membawa perubahan berarti dalam kehidupannya. Termasuk sebagai ibu, gue belum mampu memberikan contoh teladan yang baik untuk anak-anak gue. 

Lebih jauh lagi dalam bersosial, sebagai teman. Gue pun tidak pernah bisa menepati ucapan gue sendiri dan hanya mengecewakan orang-orang yang tadinya masih peduli ma gue jadi berpikir sebaliknya. Sebagai penulis, gue pun tidak berhasil menciptakan karya yang bagus lebih-lebih bisa menopang perekonomian keluarga. Atau seenggaknya buat keperluan gue sendiri. 

Bahkan sebagai orang yang berkesempatan dikasih lapak untuk berdagang, gue pun belum bisa menghasilkan apa-apa. Apalagi sebagai hamba Tuhan, semakin kesini yang ada gue semakin kesana. Gue menuliskan semuanya untuk mengingatkan diri sendiri. Lebih tepatnya mungkin itu sisi lain yang gue miliki sedang menasehati diri gue, tapi dalam kenyataannya tidak semudah gue menuliskannya. 

Entah sudah berapa kali pikiran buruk dan konyol melintas di benak gue. 

Namun, lagi dan lagi gue selalu diingatkan saat anak gue yang kecil nemplok terus ma gue. Kadang gue mikir, hadirnya anak gue yang kedua ini, selain gue merasa hadiah dari Tuhan atas kesabaran gue mempertahankan pernikahan yang udah hampir di ujung tanduk dahulu. Juga, kini gue mulai menyadari sesuatu. Dia sengaja dihadirkan sebagai pemberi kekuatan terbesar karena Tuhan mengetahui jika gue akan menghadapi persolanan yang begitu berat lagi dikemudian hari. Dan itu terjadi saat ini. 

Gue udah pernah bilang di postingan gue sebelumnya. Bahwa, jika dulu yang menghajar mental gue adalah masalah yang bersifat abstrak. Ketika pernikahan diuji oleh orang ketiga. Bukan hanya mental yang dipaksa untuk menghadapinya. Segala hal yang berbentuk emosi menjadi satu dalam diri gue. Kesedihan, kekecewaan, kemarahan, kebencian bahkan dendam kesumat bersarang seperti gumpalan awan hitam yang menenggelamkan gue sampai ke dasar jurang. 

Jika tangung jawab moral gue dulu disebabkan karena anak pertama gue. Dimana dia menjadi alasan terbesar agar gue tetap tegar bertahan. Maka kali ini alasan terbesar gue adalah yang kecil. Gue seakan mengalami dejavu, dimana kewarasan gue diuji ketika anak gue sedang dalam tahun-tahun pertumbuhan emasnya. 

Gue harus belajar dari kesalahan. Dulu, gue masih muda. Emosi gue belum stabil dan sangat susah mengontrol diri sendiri karena gue masih bucin. Ketika cinta menjadi landasan utama gue untuk menikah lalu hancur berkeping. Maka, kali ini gue terpaksa mensiasati agar kebucinan itu menjauh dari gue. Itu membuat gue lebih masa bodoh terhadap hal-hal yang bisa menyakiti perasaan gue sendiri. 

Sebenarnya, tanggung jawab moral yang gue rasakan saat ini berlipat. Meski anak gue yang pertama sudah beranjak remaja, dalam beberapa hal dia sudah bisa membaca pikiran dan keinginan gue bahkan tanpa gue mengatakannya. Namun, tetap saja jika gue tidak bisa mengontrol diri, bisa menimbulkan crash pada mental anak gue tersebut. 

Entah karena memang secara karakter, dia mewarisi sebagian besar dari gue. Meskipun penampilan fisik dari luar terlihat seperti ayahnya. Jadi gue lebih nyambung. Hal ini juga yang membuat gue harus ekstra hati-hati, jika anak gue yang pertama copasan gue dari dalamnya. Maka, hal-hal yang bersifat tekanan bisa jadi pemicu. 

Karena gue pun demikian, pada dasarnya gue menginginkan hidup normal berjalan sesuai aturan. Namun, ketika gue sudah mengikuti aturan tersebut tapi malah mendapatkan hal yang pahit. Maka sisi gelap gue bisa saja melahap habis, dan dalam kondisi begitu gue bisa melabrak semua batasan hanya untuk mencari keadilan buat diri gue sendiri. Perbandingan yang gue rasakan hampir seimbang. Potensi gue untuk menjadi yang terbaik ataupun yang terburuk itu sama rata. Tergantung dari 'atmosfer' luar yang gue hirup. 

Ketika hidup gue berjalan normal katakan tidak terlalu mengalami banyak tekanan, dan atmosfer yang gue rasakan di sekitar gue begitu kondusif maka gue menjelma menjadi yang terbaik versi gue. Meski ga pintar atau jenius, rajin or semacamnya tapi gue bisa beradaptasi, dan ketika gue fokus gue mampu mencapai banyak hal diluar ekspektasi. 

Namun sebaliknya, saat hidup gue semrawut dan gue sudah putus asa. Gue bisa menjelma jadi yang terburuk. Sisi gelap gue bangkit, gue melabrak semua batasan. Tidak peduli apapun lagi. 

Gue seperti fleksible, jika yang gue dapatkan hal baik maka gue akan bereaksi sama bahkan lebih baik. Pun sebaliknya, itu yang paling gue takutkan jika memang anak gue mewarisi genetik itu dari gue. Mungkin di depan gue, dia berusaha menunjukkan baik-baik saja. Yang gue takutkan adalah di belakang gue. Gue pun tidak ingin anak gue mengalami tekanan lagi pada mentalnya atas segala persoalan yang tengah gue hadapi. 

Di usianya yang sekarang, gue sudah tidak harus marah-marah agar membuatnya mengerti. Dan tidak bisa juga gue pakai cara tersebut karena hanya akan memperburuk situasi. Gue masih bisa mengomunikasikannya sebagai teman, dan bagusnya anak gue sekarang paham karakteristik emaknya kayak gimana. Anak gue tahu jika gue bisa melakukan apapun untuk membuatnya bahagia. Gue akan menunjukkan totalitas atas bentuk kasih sayang gue kepadanya. Tapi, saat kesabaran gue habis, katakan gue ga bisa nahan kemarahan, maka perubahan drastis akan terlihat tatkala gue dari sosok ibu yang bak malaikat jadi mode evil seketika. 

Karena gue tahu dan sadar akan kekurangan gue saat marah, maka sebisa mungkin gue menghindari hal itu. Ya, gue harus belajar dari masa lalu. Dan untungnya anak gue yang gede udah paham, dia pun menghindari kemarahan gue. Itu cukup membuat gue senang, karena setidaknya anak gue mau mengerti karakter emaknya kek gimana. Gue akui, hubungan gue dan anak gue yang pertama sudah terjalin solid. Sama-sama mau memahami karakter masing-masing. Dibandingkan ama bapaknya, anak gue lebih tahu apa isi hati gue tanpa gue mengatakan apapun. 

Satu sisi, gue selalu merasa bersalah jika ingat dia tumbuh dalam kondisi broken home. Namun, keadaan itu pula yang membentuk anak gue jadi lebih tangguh dan pemikirannya cukup dewasa untuk seumurannya. Ditambah dia mewarisi genetik dari ayahnya, secara fisik meski usianya baru 14 tahun namun dia kelihatan sudah anak SMA. Dalam kondisi genting, anak gue bisa gue andalkan. Meski perasaan bersalah kadang kala muncul, namun gue harus melihat sisi positifnya. Kelak, dalam menjalani kehidupan anak gue sudah paham dan terbiasa menghadapi kenyataan bahwa tidak semua hal indah. 

Yang terberat justru tanggung jawab moral gue pada si kecil. Dalam usia balita, gue harus benar-benar menjaga 'kewarasan' gue. Dan gue berusaha keras untuk itu. 

Ketika gue selalu tidak punya pilihan menjadikan pasangan gue sebagai partner. Gue selalu merasa mental gue dwon. Mungkin sebenarnya bisa saja gue bicara, namun lagi-lagi gue akan kena mental duluan. Karena gue sudah terlalu banyak menyusahkan dia. Dan gue juga tahu reaksinya akan tidak bagus untuk kelangsungan pernikahan kami. 

Gue terpaksa menelannya sendiri, dan itu cukup membuat gue dwon. Ketika berbagai masalah di depan mata tidak bisa gue hindari, gue seperti ingin menghilang. Namun, gue masih mempunyai tanggung jawab moral terhadap anak-anak gue. Ketika melihat yang gede, gue ngerasa dia tetap membutuhkan gue. Dia masih harus gue ingatkan, dan gue pantau. 

Ketika gue melihat senyuman dan tawa ria yang kecil, apalagi menatap dua matanya yang lugu. hati gue meringis. Dia masih terlalu kecil dan bahkan tidak tahu tentang pahitnya hidup. Pikirannya hanya dipenuhi kebahagiaan, dan tanggung jawab gue sangat berat. 

Meskipun gue sering mengalami crash ama laki gue, namun terkadang gue juga merasa iba. Mungkin saja, jika bukan dengan gue hidupnya akan bahagia seperti apa yang diharapkannya. Sementara gue tidak pernah bisa mewujudkan itu semua. Dia layak mendapatkan yang lebih baik dari gue. Namun, dia masih memilih bertahan. Entah karena anak-anak atapun untuk dirinya sendiri,
Gue nggak pernah bisa membaca isi hatinya sekalipun bertahun-tahun hidup seatap. 




Postingan populer dari blog ini

Independent Woman

Weekend

Ambang Batas4