Ambang Batas 3

Gue mengalami hari yang berat belakangan ini, maksud gue dari setiap hari memang sudah terasa berat. Yang membedakannya hanyalah tekanan yang gue alami terhadap mental gue dari kata berat itu di rate 1-100 persen. Mungkin diatas angka 70. 

Yang gue hadapi sekarang urusan uang, tunggakan alias utang atau juga cicilan yang jumlahnya lumayan banyak. Dan setiap kali ada satu yang tembus katakan pecah ke telinga laki gue, setiap saat itu pula tekanan yang gue rasakan mendorong mental gue pada ambang batas yang gue miliki. 

Setiap kali dia bertanya untuk apa? Gue selalu tidak bisa menjelaskan dan percuma gue ngomong pun karena dia tidak akan paham dan mau tahu dari sudut pandang gue. Setiap kemarahan yang dia tunjukkan, setiap perkataan yang dia lontarkan seperti anak panah yang menancap ke jantung hati gue paling dalam. 

Gue nggak bermaksud mengungkit-ungkit luka lama. Hanya saja hati gue sudah terlalu rapuh. Gue terluka, gue sedih atau meneteskan air mata tapi bukan merujuk pada kegalauan seperti orang yang patah hati dikhianati cintanya. Bukan lagi sensasi itu yang kini gue rasakan. 

Tapi bentuk kesedihan yang mengarah pada kemarahan. Gue tahu gue salah, dia pantas untuk marah. Gue juga marah pada diri sendiri sekaligus marah karena gue merasa ini nggak adil buat gue. Karena gue melakukannya terpaksa, terdesak keadaan, dan dia tidak pernah mau melihat apalagi mengerti dari sudut pandang gue. 

Gue akui, dalam kemurkaan juga kecewanya dia masih mencari cara untuk menyelesaikan masalah gue. Tapi disaat yang sama kenapa hati gue begitu terluka. Berapa kali gue berdoa agar gue diberikan jalan keluar untuk menyelesaikan masalah gue sendiri tanpa harus dia tahu apalalgi sampai merepotkan dia lagi. Tapi lagi dan lagi gue tidak menemukan jalan. 

Seandainya ada jalan yang bisa membuat semua masalah ini tuntas, dengan tangan gue sendiri. Maka, gue tidak perlu lagi merasa terluka dan sakit hati karena dianggap telah menyusahkan, pembawa masalah atau lain sebagainya. Ataupun gue nggak lagi merasakan kemarahan karena merasa terhina apalagi gara-gara masalah uang. 

Gue sangat kecewa ketika orang lain hanya mengukur rasa resfect terhadap gue hanya berdasarkan uang. Perlahan tetapi pasti, hati gue semakin dirasuki kegelapan juga dendam. Demi apapun yang gue inginkan saat ini hanya punya uang sendiri agar tidak ada lagi satu orang pun yang meninggikan suaranya terhadap gue. Agar tidak ada satu orang pun yang merendahkan gue. Agar tidak ada satu orangpun yang punya alasan untuk mengabaikan gue.

Bersamaan itu pula, gue berbincang dengan ibu mertua gue. Dia bilang mendengar percakapan laki gue ama temannya. Saat suatu ketika, gue meminta tolong menggadekan bpkb motor untuk menutup utang-utang gue. Teman laki gue bilang katanya seakan ngeledek agar laki gue membuang saja perempuan model kek gue karena akan terus menyusahkannya. 

Gue hanya bisa menyunggingkan senyuman kecut. Entah kenapa meski mewakili isi percakapan laki gue dan temannya, tapi yang terdengar di telinga gue seolah kalimat tajam tersebut senada dengan ucapan yang tidak bisa terang-terangan disampaikan ibu mertua gue pada gue. 

Jika pun benar, meski perih namun apa yang bisa gue lakukan? Mungkin sebagai seorang ibu, dia hanya ingin melihat anaknya hidup bahagia dan ikut merasakan dampaknya karena masalah gue. Ya, gue bilang aja. Seandainya dulu ketika gue menikah, laki gue punya segalanya. Lalu pas bersama gue kehidupannya jadi belangsak, mungkin gue bisa legowo. Dan tidak ada alasan yang bakal membuat gue merasa terluka karena gue yang menyebabkan kondisi seseorang yang tadinya diatas jadi nyungseb ke bawah. 

Gue terluka karena awal dulu kami menikah pun tidak punya apa-apa. Dan adaikata saat itu gue atau orang tua gue matre tentu saja gue akan mikir ribuan kali saat seseorang meminang gue hanya bermodalkan cinta. Ketika ekonomi kami di uji lewat gue sampai titik terbawah, gue hanya ingin bilang mungkin Tuhan memang ingin mengambilnya kembali dengan satu tujuan. Biar gimanapun dibalik rezeki yang Tuhan berikan pada laki gue ada satu titipan buat gue. 

Atau memang gue pembawa nggak hoki, melihat nasib nyokap, bokap, saudara2 gue memang kurang beruntung dalam hidupnya. Memikirkan semua itu sungguh membuat gue semakin terpuruk. Gue merasa sendirian. Dan gue butuh seseorang untuk menopang gue agar tetap bisa menghadapi masalah gue sekaligus menyelesaikannya.

Gue nggak mungkin bercerita pada anak-anak gue. Gue tahu Tuhan akan selalu ada. Namun, sisi humanitas gue merindukan sosok teman yang nyata. Karena gue pun manusia biasa. Gue yakin tidak ada yang ingin merasa sendirian bahkan dalam pikirannya sendiri. Itu sebabnya mengapa akhir-akhir ini gue memposting curhatan gue di sini. Karena gue berharap di luar sana ada seseorang yang membaca dan terketuk hatinya agar mau membantu gue melewati semua ini. 

Jika pun tidak ada, gue juga nggak tahu kenapa. Gue harap ini bukanlah sebuah petanda, karena gue juga masih ingin berlama-lama hidup di dunia. Selain masalah gue harus gue selesaikan sampai ke akar-akarnya, gue pun masih punya anak-anak yang masih sangat membutuhkan keberadaan gue di samping mereka. Pun gue pun menyadari tidak punya bekal apa-apa untuk di alam sana. 

Gue menulis agar gue tetap waras. Ketika gue menyerah maka bagaimana dengan anak-anak gue.

Postingan populer dari blog ini

Independent Woman

Weekend

Ambang Batas4