Titik Nol2

Entah mengapa gue mulai pesimis dengan pernikahan gue. Entah kenapa gue mulai halu andai laki gue menyerah bagaimana? Apa gue udah benar-benar siap menghadapi kenyataan itu? 
Masalah gue masih belum kelar, gue seperti memegang bom waktu yang bisa saja meledak kapan saja. Gue nggak terlalu yakin kali ini kami bisa melewatinya. 

Andaikata itu terjadi, misal laki gue memilih untuk melepaskan gue karena mungkin saja dia sudah jenuh dan berpikir jika tetap bersama gue hidupnya akan terus belangsak. Gue sadar diri, dia berhak hidup lebih baik. Ditambah lagi, gue merasa mertua gue pun sekarang mulai terkena dampaknya. Mungkin juga berpikir dan menginginkan hal yang sama jika laki gue bersama orang lain bisa saja secara materi akan jauh lebih baik. 

Tapi seandainya nasib gue harus begitu, rasanya sangat ironis. Ketika sudah sejauh ini kami melangkah, ketika segala yang pahit sudah kami lewati, ketika Tuhan sudah memberikan kesempatan terakhir untuk kami bersama namun berakhir sia-sia. 

Bagi gue pribadi, gue sadar diri bisa memaklumi keinginan mereka. Yang gue pikirkan adalah bagaimana dengan anak-anak gue? Yang gede lagi dalam fase menemukan jati diri, gue takut dia mengalami masa-masa broken home seperti dulu. Dan untuk usianya yang sekarang, justru lebih rawan. Yang kecil pun masih dalam fase pertumbuhan. Dan jujur saja gue tidak ingin kejadian yang sama berulang. 

Sejujurnya gue masih sangat berharap, happy ending yang sebenarnya. Sejujurnya gue pun tetap menginginkan keluarga kecil gue utuh. Gue ingin kami berjuang sampai akhir. Sampai kami berada dalam kondisi yang bahagia baik secara materi maupun yang lainnya. 

Gue sadar betul, bagi seorang laki-laki sangat mudah untuk memulai kehidupan yang baru. Tanpa mengabaikan kewajiban terhadap anak-anaknya. Tapi, bagi gue sendiri rasanya jika gue akhirnya 'didepak' karena dicap hanya menyusahkan dan tidak bisa membawa perubahan berarti (secara materi). Mungkin gue akan berpikir ribuan kali untuk berumah tangga lagi. Karena menikah bukan hanya penyatuan dua insan saja. Gue pasti akan kembali beradaptasi dengan orang baru dan keluarganya. 

Gue udah lelah dengan kondisi itu. Maka lebih baik gue hidup sendiri saja selamanya, fokus nyari duit yang banyak. Berbagai kemungkinan kini melintas di benak gue andai kata laki gue memutuskan menyerah. Gue nggak bakalan pulang dan hanya menambah beban orang tua gue. 
Kalau perlu gue tetap berada di tempat laki dan mertua gue berada karena gue sama sekali ga rela melihat anak-anak gue terkena dampaknya. 

Meski membayangkannya saja gue udah mumet, tapi semua hal bisa saja terjadi jika laki gue sudah dalam fase lelah bersama gue. Jika itu terjadi, gue hanya berdoa agar gue bisa hidup mandiri, berdiri di kaki gue sendiri, punya penghasilan sendiri. 

Yah, entahlah gue sekarang pasrah dengan apapun yang akan terjadi nanti. Gue sudah berjuang keras, namun yang menentukan tetaplah Tuhan. Gue bisa apa? 

Dalam segala keputusasaan ini, gue akui seringkali gue berpikir untuk mengakhiri hidup gue saja. Mungkin dengan tidak adanya gue, kehidupan laki dan anak gue akan jauh lebih baik. Tapi, gue juga sadar melakukan hal itu tidak akan menyelesaikan masalah. Yang ada gue jadi arwah gentayangan, karena masih punya banyak urusan di dunia yang belum gue selesaikan terlebih urusan utang. 

Belum dosa gue masih berjibun, gue nggak punya bekel untuk gue bawa di alam kubur sebagai penerang. Pun sebagai bekal di akhirat karena siapa yang mau mampir ke neraka tidak ada yang mau. Udah didunia susah diakhirat lebih susah. Segelap-gelapnya jiwa yang gue rasakan kini tetap saja gue sadar akan hal itu. 

Belum lagi gue nggak bakalan pernah bisa tenang meninggalkan anak-anak gue. Kalau laki ditinggal mati atau pisah dengan istrinya gue yakin ga butuh waktu lama-lama untuk menemukan pasangan baru. Karena gue juga tahu kodrat laki-laki yang tidak akan pernah bisa menahan nafsu seksualnya dalam jangka waktu yang lama. Katakan andai gue bundir, laki gue nikah lagi. Nanti anak-anak gue bagaimana. Meski mendapatkan ibu pengganti yang berbaik hati jelas akan sangat berbeda dalam hal apapun bagi mereka. Membayangkannya membuat hati gue hancur. 

Jadi, tidak akan menyelesaikan masalah bukan jika gue mengakhiri hidup gue? Belum tar perasaan orang tua gue gimana, udah harus menghadapi kenyataan anak sulungnya janda menanggung buah hatinya yang ditelantarkan, ditambah menghadapi gue yang memilih mati. Gue pun nggak bakalan sanggup melihat mereka semakin sedih. 

Ada untungnya gue sebagai penulis sudah terbiasa membuat alur untuk berbagai karakter yang gue buat ke dalam cerita. Jadi, disaat gue putus asa ingin melakukan hal konyol di benak gue sudah bisa membayangkan satu persatu kilasan kemungkinan yang akan terjadi. 

Yang jelas, saat ini gue di ambang batas kemampuan gue. Yang jelas, saat ini dibalik segala ketegaran yang gue tunjukkan di hadapan anak-anak gue tersimpan begitu banyak keputusasaan. Dan yang jelas, gue pun sebenarnya menginginkan tetap hidup seribu tahun lagi melihat anak-anak gue tumbuh. Mendampingi mereka. Karena seburuk dan setidakbergunanya gue bagi orang lain, tapi gue yakin gue masih sangat berarti untuk anak-anak gue. 

Gue hanya berharap, Tuhan memberikan keajaiban agar gue bisa menyelesaikan masalah gue tanpa harus jadi beban siapapun. Ya, gue masih harus dan akan terus memupuk harapan juga keyakinan tersebut dalam hati gue. Gue harap Tuhan masih berbaik hati sama gue meski gue sadar gue masih jadi manusia yang bergelimang dosa. Tapi, pada siapa lagi gue menaruh harapan paling akhir jika bukan pada Tuhan yang Maha Berkehandak. 

Postingan populer dari blog ini

Independent Woman

Weekend

Ambang Batas4