My Lullaby Part10

Orang bilang, luka akan membuatmu jauh lebih kuat dari sebelumnya. Gue nggak inget entah sudah berapa kali, hati, hidup dan jiwa gue jatuh bangun. Tapi yang jelas gue simpulkan gue yang sekarang terbentuk dari apa yang sudah gue lalui. 

1. Gue bukan lagi anak manja, bahkan bukan lagi sosok pribadi yang manja. 

Setelah menikah, yang awalnya nempel banget ga bisa jauh dari nyokap, gue jadi jarang ketemu. Memang bertahap dari yang gue selalu harus nelp mereka dua sampai 3 kali dalam sehari. Sering nangis karena kangen. Sampai gue bisa kuat menahan ga komunikasi sama sekali satu bulan, dan nggak ketemu bertahun-tahun terutama saat covid gue bener2 ga pulkam ketemu mereka selama 3 tahun. 

Yang gue garis bawahi disini bukan perkara jadi semakin jarang komunikasi/bertemu merekanya. Ruang, jarak dan waktu melatih mental gue untuk terbiasa jauh tanpa mereka. Dan seiring berjalannya waktu pula, keadaan memaksa gue untuk menahan diri tidak terlalu sering berkomunikasi. Karena terus terang saja hanya membuat semakin sedih saat mendengar suara mereka tapi gue nggak bisa menyampaikan masalah gue.  

Saat hati gue lagi bagus barulah gue siap telp keluarga gue agar gue lebih bisa mengendalikan diri sendiri mana yang harus gue pilah untuk disampaikan. Dan karena keadaan keluarga gue di kampung juga masih sangat sulit n complicated, gue terpaksa memfilter bukan karena sudah tidak peduli. Tanpa gue panjang lebar perjelas, gue yakin mereka tahu andai gue mampu gue akan ada di barisan terdepan untuk mereka.  

Saat ada kesempatan pulang misal lebaran, barulah gue bisa menumpahkan segala kerinduan gue sama mereka. Meski pas gue balik ke jakarta sering drama tapi tidak berlangsung lama, satu or dua hari selanjutnya gue kembali lagi fokus pada kehidupan gue sendiri. 

2. Gue bukan lagi sosok pribadi yang manja dan cengeng!

Karena perbedaan karakter yang cukup jauh ma laki gue, tanpa sadar sudah membentuk diri gue yang sekarang. Pada awalnya gue pesakitan saat laki gue cenderung mengabaikan gue karena tuntutan pekerjaan dia juga banyak. Berbeda jauh dari awal-awal menikah, dalam berbagai hal kini gue sudah tidak merengek meminta bantuan tenaganya lagi. 

Secara fisik dan mental juga karakter laki gue banyak yang bertolak belakang. Kebiasaan dia seiring berjalannya waktu pun mempush gue untuk mengikuti jejak yang sama. Misal, dulu kalo migren gue kumat, tepar, pengennya diperhatiin ma dia, dibeliin makan obat support dsb. Awal-awal sih masih tapi lama kelamaan laki gue juga boring kali dan gue baru ngeh kalo memang hidupnya tidak disetting begitu. Dia sudah terbiasa mandiri dan apa-apa ditelen sendiri. Gue dibecandain cemen lah, lebay lah. Sampai gue bener-benar terbiasa untuk bisa menyembuhkan luka gue sendiri mo migren mo hati dengan 'cara' gue sendiri. 

Tanpa gue duga alam bawah sadar gue sekarang otomatis meniru apa yang laki gue lakukan maka itu pun akan gue lakukan. Misal, dia nggak ngesave nomor gue, dulu mah baper mewek segala pikiran aneh2, sekarang ga ambil pusing, gue melakukan hal yang sama. Buat apa gue save, dia juga nggak. Pikiran gue jadi begitu sekarang. 

Atau, gue dulu banget masih suka kepo2 protes manyun pas gue cari2 di galeri hpnya nggak ada foto gue sedangkan gue kek orang bucin oon dipenuhin foto2 dia. Lebih dari itu eh yang gue liat malah foto teman chatnya. Yowis setelah itu tanpa komando, mikir2 panjang lebar, gue pun nggak pernah ngesave foto dia di hp gue. 

Dulu gue sedih, saat laki gue nggak inget tanggal ultah/ pernikahan. Kata laki gue, sama aja ga da bedanya dia aja nggak inget2 hari ultah dia sendiri. Owh ya udah, mulai saat itu gue juga udah nggak pernah menganggap tanggal2 tersebut sebagai sesuatu yang penting. Misal dia nggak inget ya udah berlalu begitu saja gue nggak mempermasalahkan lagi sekarang. Pun saat ultah dia, kalo dulu gue suka ribet sendiri nyari kado kejutan atau hal apapun sekarang gue pun menganggapnya biasa saja. 

Banyak lah, tapi intinya gue yang sekarang terbentuk secara tidak sengaja oleh karakter laki gue. Semacam apa ya, gue memasang antibodi tersendiri dengan mengcopy agar gue tidak merasa tersakiti. Beradaptasi demi mempertahankan kesehatan mental gue sendiri. Karena perbedaan karakter tersebut. 

Terkadang, gue merindukan kehangatan yang dulu. Dimana gue dan dia lagi sama-sama bucin. Dimata gue dia sosok pria yang sempurna dan gue kagumi segalanya. Begitu pun dia menganggap gue sempurna, dan ratu segala-galanya. Gue merindukan situasi dimana kami berdua hidup ayem tidak kekurangan apalagi urusan uang, meski gajinya ga seberapa tapi entah kenapa saat itu tercukupi semua. Ditambah kehadiran buah hati kami semakin melengkapi kebahagiaan. Yah, gue sering merindukan itu. 

Tapi, keadaan sudah berubah sekarang. Terlepas dari semua itu, gue tahu laki gue masih sayang ma gue. Gue masih merasakan kehangatan tersebut meski di moment tertentu dan amat sangat jarang. Soal perasaan gue sama dia, ya tentu saja gue juga masih sangat menyayanginya. Perbedaannya saat gue mulai terbuai gue langsung sadar, seakan punya rem sendiri agar gue nggak terlalu mengikuti perasaan dan hanya akan melukai diri gue sendiri. 

Karena laki gue menanganggapi hampir semua hal biasa saja ya sudah gue pun mengikuti sudut pandang dia. Bukan karena gue tidak mau berpegang pada prinsip sendiri hanya saja terkadang dalam kondisi tertentu gue harus mengcopy bagaimana gue diperlakukan seseorang ya itu yang bakal gue lakukan. Atau mungkin gue sudah dalam mode 'terserah' lakukan apa yang ingin mereka lakukan maka gue pun akan melakukan apa yang ingin gue lakukan. 


3. Gue mampu beradaptasi juga survive

Karena gue tinggal berdampingan dengan keluarga suami, otomatis gue harus bisa beradaptasi dengan lingkungan yang sangat berbeda dari keluarga gue. 

Dan gue amat sangat sadar diri, karena keluarga gue jauh maka gue harus mampu membaur dan menyatu. Tentu tidak mudah tapi gue berusaha semampu gue untuk tetap menciptakan atmosfir yang bagus. 

Wanita yang sudah menikah dalam waktu yang lama tentu amat sangat paham, jika kesehatan mental adalah segalanya agar tetap bisa menjadi sosok ibu yang siaga demi tumbuh kembang anak-anaknya. Gue belajar dari pengalaman sebelumnya ketika psikis tidak bagus lantas kita nggak bisa mengendalikan diri sendiri maka efeknya merembet kemana-mana. 

Sekali lagi menikah tidak sesimple itu. Memang awalnya sangat indah ketika dua insan yang dipersatukan cinta bisa bersama. Hadirnya buah hati adalah bentuk dan hasil dari semua itu. Di sisi lain, tugas dan tanggung jawab bertambah karena ada kehidupan baru yang sangat bergantung pada kita. 

Itu menjadikan gue bagaimanapun keadaannya, seberapa hebat pun tekanan yang gue terima maka gue harus bisa survive. Percayalah semua tidak mudah, karena artinya gue harus mengesampingkan ego sendiri dan memastikan anak-anak gue tidak terkena dampaknya. 

Seiring berjalannya waktu pun, gue bisa menjadi bagian dari keluarga laki gue. Mereka menerima gue dengan baik sudah seperti anak sendiri. Namun tentu saja ada beberapa hal yang terkadang menjadi gesekan tersendiri. 

Secara pribadi gue benci konflik, jadi terkadang gue tidak bisa mengekspresikan bahkan tidak dapat gue bicarakan pada laki gue. Gue lebih sering mengabaikan perasaan gue dan memilih memendamnya karena  lebih baik begitu. 

Gue mengalami begitu banyak hal, gue menghadapi begitu banyak karakter. Dan semua tidaklah mudah. Entah karena faktor u atau memang gue beradaptasi dengan lingkungan terkadang gue melihat ke dalam diri gue sendiri, seburuk apapun citra dan pencapaian gue dimata orang lain yang seringkali membuat gue inscure bahkan dwon. Tetapi di saat yang sama gue harus bisa melihat ke belakang sejauh apa gue sudah berjalan dan apa saja yang telah gue lalui. 

Meksi mungkin dimata orang lain gue tidak mampu memenuhi pencapaian tertentu. Tapi gue butuh motivasi untuk diri gue sendiri ya salah satunya itu. Hal yang gue perlukan saat ini adalah gue harus bisa berpijak di kaki gue sendiri, katakan gimana pun caranya gue harus punya penghasilan sendiri. Untuk menebus kekacauan yang secara tidak sengaja disebabkan karena gue, juga demi kelangsungan hidup gue sendiri. 

Lantas apa gunanya menikah? Lantas apa gunanya peran suami jika gue masih memikirkan semua itu? Bahkan gue amat terobsesi. Bukankah sebagai seorang istri hanya tinggal duduk manis, dan sudah jadi tugas kewajiban suami memenuhi segala kebutuhan keluarganya. 

Laki gue sudah melakukan apa yang harus dia lakukan. Dia bekerja dengan baik, gajinya juga dikasih ke gue. Dia pun menyayangi anak-anaknya. Begitu pun dia masih 'menginginkan' gue. Lalu mengapa gue masih merasa kesulitan, gue masih merasa tertekan. 

Ada banyak hal yang gue tidak bisa sampaikan ke laki gue, dan gue memendamnya sendiri. Untuk alasan tertentu, gue selalu tidak punya pilihan. Ibarat membuat sebuah kue. Laki gue sudah memberikan semua bahannya dan menjadikan itu kue. Ya sudah. Itu yang gue tangkap. 

Perkara rasanya enak atau tidak, cukup atau tidak. Seakan hal-hal tersebut tidak begitu penting baginya. Katakan dia berpikir sebagai seorang suami dia sudah sangat giat bekerja, gaji dikasih ke gue, dia juga telah kembali pada sosok pria yang dulu gue kenal. Tidak ada lagi ancaman dari pihak ketiga yang mencoba menggeser posisi gue. 

Sementara itu, gue harus memastikan kue itu tetap enak dimakan dan cukup di tengah-tengah kondisi yang bisa saja malah menghancurkannya. Gue merasa tugas yang diberikan terlalu berat untuk gue tanggung sendiri. Tapi ketika gue menyampaikan hal tersebut, laki gue tetap pada pendirian dan sudut pandangnya bahwa selama ini dia sudah melakukan hal yang memang harus dia lakukan. 

Ketika rasanya kurang enak, gue memilih tidak lagi berdebat. Ketika habis di pertengahan jalan, gue memilih jalan sendiri untuk menjaganya tetap cukup. Gue merasa memang tidak sinkron, dan nggak pernah bisa mengomunikasikannya. Entah karena gue udah lelah berdebat, karena ujung-ujungnya dia tetap pada pendiriannya. Ketika gue memaksakan argumen gue yang terjadi malah crash. Jadi ya gue cari jalan sendiri. 

Walaupun pada akhirnya, jalan yang gue ambil dengan tujuan agar tidak menambah bebannya lagi yang terjadi malah sebaliknya dia-dia juga yang harus menanggung kesalahan gue. Itu yang membuat gue berpikir kenapa gue harus punya penghasilan sendiri. Untuk menebus kesalahan gue juga agar gue tidak merasa lagi dihakimi. Gue benar-benar berdoa untuk itu. Sayangnya, alam seakan tidak terus berpihak ke gue dan lagi-lagi malah menyudutkan gue. 

Gue nggak tahu jalan apa lagi yang bisa gue ambil. Semakin sering gue tertekan, jiwa gue yang ada semakin gelap. Sering gue berpikir mungkin andai kata dia bersama orang lain, hidupnya akan jauh lebih baik seperti yang dia inginkan. Gue begitu menyadari bahwa laki gue sudah dalam posisi lelah karena sepanjang hidupnya sama gue secara materi tidak memberikan dampak yang bagus. 

Siapa yang tidak menginginkan kehidupan yang serba berkecukupan. Semua orang mengharapkan itu. Dan gue paham dari sudut pandang laki gue, meski tidak kaya raya amat minimal hidup kami berjalan normal tanpa harus memikirikan tunggakan. 

Semakin gue menyadarinya, gue semakin merasa tertekan bersalah. Kadang kala, andai saat itu gue biarkan saja laki gue bersama orang lain yang mungkin bisa membahagiakan hidupnya. Apa dia akan bahagia? Hidup seperti impiannya. Karena secara materi, perempuan itu sangat mampu mewujudkannya. 

Akan tetapi, saat itu gue begitu tidak rido jika anak kami yang harus jadi korban. Gue yakin sekarang pun alasan yang sama membuat laki gue berpikir ribuan kali untuk menyerah. Karena selain anak kami sudah bertambah, juga dia harus betul-betul mempertimbangkan keputusannya. Sekali keluar lagi kata perpisahan, maka kami tidak akan pernah bisa kembali lagi. 

Ya, dia sudah pernah menjatuhkan dua kali talak sama gue. Ketika drama panjang yang menimpa kami dahulu. Jadi, itu artinya saat ini hanya asa kesempatan terakhir bagi kami untuk bersama. Namun, seandainya kemungkinan paling buruk itu terjadi bagaimana? 

Gue harus bersiap diri andaikata dia sudah menyerah. 
Gue pasrah, dengan apapun yang akan gue hadapi kelak. Baik dari sudut pandang gue maupun dirinya kini kami sama-sama seri. Bagaimana dengan gue? 

Sama seperti fase sebelumnya, gue tetap pada pendirian gue kalau gue masih mampu mengesampingkan ego gue demi kebahagiaan dan masa depan anak-anak gue. Demi ketenangan hidup orang tua gue. Tentang bagaimana perasaan gue sudah tentu, sebagai seorang istri. Pun sebagai wanita biasa yang dahulu memilihnya dengan penuh cinta, gue masih sangat berharap pernikahan kami masih dinaungi cinta kasih. 

Tapi keadaan sudah berbeda, gue merasa terbangun kembali sebuah jarak diantara kami berdua. Padahal, gue sudah mencoba mengikuti aturan main dia. Gue membebaskan dirinya. Gue memgikuti sudut pandang dia tentang pernikahan. Dan gue sadar betul, bahwa menikah bukan berarti mengklaim seseorang menjadi milik kita sendiri. 

Jika laki gue sudah menemukan dunianya sendiri tanpa mengabaikan tugas dan kewajibannya sebagai suami dan ayah. Berbeda dengan gue, semakin gue mencari dunia gue sendiri. Yang ada gue hanya lari dari kenyataan dan membuat gue kehilangan arah tujuan. Karena sejujurnya dunia yang gue inginkan adalah kebersamaan dengan laki gue dalam setiap apapun. Tanpa harus merasa ada jarak, atau privacy lainnya. Karena bagi gue penyatuan seutuhnya bukan hanya sekedar di atas ranjang, tapi semua hal menjadi satu. 

Postingan populer dari blog ini

Independent Woman

Weekend

Ambang Batas4