Orang Asing

Gue pengen berbagi pengalaman hidup gue. Sekaligus untuk mengingatkan diri gue sendiri untuk tetap kuat menghadapi setiap episode kehidupan yang sedang gue hadapi kini. 

Gue sengaja membuat tulisan ini mengalir apa adanya yang ada di benak gue. Yang gue rasakan itu yang akan gue sampaikan. Gue bisa saja mengemasnya dalam bentuk cerita bersambung pake dialog, deskripsi dan lain sebagainya. Tapi gue suka kebanyakan mikir dulu, dan entahlah gue hanya ingin mengikuti kata hati gue saja membiarkan apa yang terpendam dan menarasikan seadanya. 

Gue ingin bercerita tentang part dimana gue bertemu dengan beberapa orang asing dan malah secara tidak sengaja merangkul gue. Atau mungkin itu cara Tuhan menolong gue. Sekedar mengenang saat-saat kritis hidup gue dulu bahwa Tuhan ada memberikan gue bantuan dari jalan yang tidak gue duga. Maka kali ini gue berharap hal yang sama, meski gue agak pesimis karena posisi gue saat ini lagi jauh sama Tuhan gue, mungkinkah ada keajaiban kembali? Gue nggak tahu, gue masih mengharapkan moment itu. 

Untuk menjaga harapan gue tetap ada, gue harus mengingatkan diri sendiri yaitu dengan membawa kembali gue ke masa-masa sulit dulu. Itu sebabnya gue ingin menuliskannya disini sambil menunggu siapa tahu, Tuhan kembali memberikan gue bantuan seperti dahulu. 

1. Satu Keluarga yang Hangat dan tiba-tiba 'merangkul' gue

Suatu ketika, di fase drama saat laki gue sedang 'oleng'. Dan posisi gue masih bisa menangis mengeluarkan air mata, dan belum melampiaskannya pada sebatang rokok. Ada titik klimaks dimana gue ingin memberontak. Biasanya saat itu ketika gue bertengkar hebat ujung-ujungnya hanya akan berakhir dengan permohonan maaf dari gue untuk meluluhkan laki gue. Karena pada saat itu, gue nggak sanggup membiarkan pernikahan gue hancur. Dan gue begitu takut kehilangan laki gue.

Karena gue udah muak dan hati gue begitu sakit, atau sudah dalam ambang batas gue. Jadi, gue memutuskan kali itu gue nggak bakalan berdamai duluan. Gue ingin melihat seberapa besar rasa sayang laki gue lebih tepatnya apakah laki gue bakal memperjuangkan gue? 

Saat keluarga suami berlibur, gue ikut serta ke kampung halaman mereka. Anak gue juga ikut. Tetapi saat kembali ke Jakarta, gue berkata bahwa untuk sementara ini gue ingin tetap disana menenangkan diri. Gue hanya akan kembali jika laki gue menginginkannya lantas datang menjemput gue. Itu keputusan yang paling berat karena untuk pertama kalinya gue harus berjauhan dengan anak gue. Karena mau tidak mau anak gue kan harus sekolah. Awalnya dia tidak mau, namun adek laki gue merayunya. 

Dan gue bisa melihat raut kecewa dari kedua orang tua laki gue. Karena gue tahu mereka inginnya gue tetap bersabar dan mengalah seperti biasanya. Gue hanya bilang, sekali-kali gue ingin laki gue yang menunjukkan perjuangannya. Masa gue mulu, kali-kali gue pengen lihat apa bisa laki gue mengesampingkan ego dan gengsinya demi gue, seperti yang selama ini gue lakukan agar supaya pernikahan kami tetap utuh. 

Adalah tidak mudah jika harus memadamkan kobaran api yang membakar hati dalam sekejap, karena meskipun berhasil mengalahkan ego dindingnya masih meninggalkan bekas terbakar. Dan apapun reaksi laki gue nanti, gue harus siap karena itu sekaligus akan menjawab pertanyaan gue apakah laki gue masih cinta atau memang sudah tidak peduli ma gue. 

Gue akan ambil resiko terburuk. Dan itu sangat menyakitkan dan membuat gue hancur karena gue tahu anak gue sedih dengan keputusan gue meski wajahnya tetap menunjukan keceriaan seakan dia baik-baik saja. Tapi gue tahu apa yang dia rasakan. 

Gue sendirian di kampung mertua gue. Hati gue remuk saat gue merasa ingin pulang ke tempat orang tua gue tapi gue nggak bisa melakukannya. Gue tidak mau mereka sedih dan hanya menambah beban mereka yang sudah banyak. 

Gue akhirnya diajak tinggal sama salah satu saudara mertua gue yang memang anaknya sudah kenal lama ma gue karena pernah ke Jakarta. Dengan alasan nggak mungkin gue tinggal seorang diri apalagi saat itu gue tidak memegang uang seperak pun. 

Alhasil ketika laki gue tahu gue nggak ikut pulang, dia langsung murka semurka-murkanya. Hp gue mode pesawat agar nggak bisa dia hubungi karena gue males berdebat. Adapun soal anak gue, meski gue sakit membayangkannya tapi gue yakin mertua gue juga laki gue akan menjaganya. 

Besoknya laki gue ngirim pesan ke sodara mertua gue tersebut, katanya lebih baik gue nggak usah pulang lagi ke Jakarta sekalian. Katanya baju-baju gue udah dipak dan mo dikirimin ke orang tua gue lewat trevel. Jelas itu membuat gue juga kecewa dan marah. Gue suruh balas tuh pesan, jangan lakukan hal itu karena sama saja menyakiti perasaan orang tua gue dan gue nggak mau mereka dibawa-bawa dalam masalah ini. Karena tujuan gue tinggal sementara di kampung mertua ya agar gue tidak merepotkan orang tua gue. 

Gue mati2an menahan beban yang gue rasakan seorang diri di tempat antah barantah untuk menghindari orang tua gue tahu tentang masalah gue. Kata sodara mertua gue dan ibu bapaknya mencoba menenangkan gue, laki gue nggak mungkin tega melakukannya. Itu hanya bentuk kemarahan saja. 

Gue disuruh berserah berdoa, sholat dzikir minta yang terbaik. Dan gue melakukannya, gue berdoa jika memang gue harus berpisah ya tunjukkan jalannya. Tapi jika memang gue masih berjodoh ya tunjukkan juga dan gue ingin laki gue melupakan perempuan tersebut untuk selamanya. 

Hampir seminggu gue tersiksa tanpa adanya anak gue disamping gue. Gue udah terlanjur kecewa saat mengetahui jika selama ini ternyata baik ibu mertua, bapak mertua, adek2 ipar gue semuanya tahu tentang hubungan laki gue dan perempuan tersebut tapi menutupinya dari gue. Dan klimaks bentuk kekecewaan gue yang paling dalam saat gue tahu jika perempuan itu membelanjakan semua anggota keluarga laki gue berupa pakaian satu persatu. 

Itu seperti hantaman dahsyat buat gue. Meski mereka berdalih jika tidak bisa menolak dan berbuat apa-apa tetap saja hati gue terlanjur sakit. Gue sadar selama ini belum bisa memberikan apapun pada keluarga laki gue, tapi bukan berati mereka menerima begitu saja. Itu bagi gue sama saja memberi lampu hijau agar perempuan tersebut masuk. 

Ya intinya gue kecewa. Setelah seminggu ternyata laki gue datang jemput gue bawa teman-temannya. Tentu saja dia berdalih sekalian mengantar mereka untuk pergi ziarah karena memang dekat tempat ziarah. Gue sudah hatam watak laki gue yang gengsinya segunung. 

Singkat cerita gue ikut pulang, dan itu sudah jadi jawaban buat gue bahwa gue memang masih harus memperjuangkan pernikahan gue. Gue pamit pada sodara mertua gue yang menampung gue tersebut. Gue berhutang budi pada mereka dan entah kapan mungkin gue nggak pernah bisa membalas semua kebaikannya.

Saat gue kembali ke Jakarta, di sepanjang perjalanan gue hanya diam saja. Laki gue saat itu datang bawa mobil temannya, ada dua orang. Mereka duduk di depan sementara gue n laki gue duduk di kemudi belakang berdampingan. Mungkin laki gue sempat curhat gue nggak tahu, yang jelas yang gue tangkep mereka seperti berusaha mendekatkan kembali gue dan laki gue. 

Tiba di daerah Puncak Bogor, mobil mereka berhenti. Ternyata motor laki gue dititipkan dulu di salah satu rumah temannya tersebut. Mereka menyuruh gue dan laki gue untuk menginap saja karena sudah larut dan cuaca sangat dingin jika kami memaksa pulang pake motor ke Jakarta. 

Nah, disini gue mulai aneh ketika laki gue bilang mau langsung balik ke Jakarta saja karena kasian anak gue udah nungguin gue. Tetapi saat diperjalanan laki gue malah bilang akan berhenti di sebuah penginapan. Dan gue sempat denger dia telp ke orang rumah hal sebaliknya jika kami terpaksa menginap di tempat temennya karena sudah malam. 

Ya, gue masih diem aja. Gue masih males ngomong terlebih gue lihat jaket yang laki gue kenakan persis seperti yang diceritakan adeknya bahwa itu pemberian wanita tersebut. Di sepanjang jalan menuju penginapan, laki gue bersikap sebaliknya. Meski tidak berucap kata, namun dia menyuruh gue untuk memeluknya dan memasukan tangan gue ke saku jaketnya karena benar-benar dingin dan sialnya gerimis. 

Gue sempat memaki dalam hati, ironis dan membagongkan sekalee bahkan di saat-saat momen seperti ini yang menghangatkan laki gue hanyalah jaket dari tu perempuan. Pelukan gue masih terhalang oleh wanita tersebut. Namun, gue males berdebat dan ya sudahlah. Leganya gue masih punya harapan untuk menyelamatkan pernikahan gue dan gue tidak perlu mengorbankan kebahagiaan anak gue. 

Karena ditengah-tengah penantian laki gue dateng apalagi reaksinya murka pas tahu gue nggak ikut balik ke jakarta ya gue udah pasrah harus siap kemungkinan terburuknya. Jika laki gue tidak jemput, maka bagi gue itu akan jadi jawaban pernikahan kami harus the end. Kenapa gue milih kampung halaman mertua gue, gue hanya berjaga-jaga andai gue harus pisah gue akan memulai hidup baru disana sendirian. 

Pertimbangan gue karena jarak tempuhnya dekat jadi anak gue bisa mengunjungi gue sewaktu-waktu tanpa harus kehilangan sosok ayahnya. Dan lebih baik dengan ayahnya karena gue tahu laki gue akan bertanggung jawab sepenuhnya. Sementara gue, mungkin gue bisa melamar kerja lalu ngontrak, yang jelas gue nggak bakal pulang kampung ke orang tua gue karena gue tahu hanya akan menambah beban mereka. 

Namun ya, dengan datangnya laki gue. Itu memberikan gue jawaban agar tetap berjuang. 

Setibanya di penginapan, pikiran buruk gue sempat melintas. Karena gue nggak pernah sama sekali ke tempat seperti itu. Melihat laki gue kek udah terbiasa, beda ma gue yang kek orang oon celengak celinguk. Bisa saja laki gue sering pergi dan ketemu di penginapan sama wanita tersebut ya mana gue tahu. Itu mungkin saja karena perempuan tersebut punya banyak uang. Tapi, lagi-lagi gue mengabaikan pikiran tersebut. Karena udah males berdebat dan posisi gue juga lagi gabut males ngomong. 

Disini gue dibuat spechless, melongo karena laki gue bersikap sangat lembut beda sama pas di hadapan teman-temannya yang seakan acuh ma gue meski tetap menjemput gue. Laki gue bahkan meminta maaf atas segala yang terjadi, kata gue percuma saja jika dia masih berhubungan dengan wanita itu. Ya, gue nggak tahu dah apa memang itu tulus dari dalam hatinya atau memang dia kangen ma gue. Ditambah lagi itu pertama kalinya gue minggat, tidak merengek seperti biasanya kami bertengkar. 

Keesokan harinya kami pulang ke Jakarta. Semua keluarganya heboh menyambut gue, bahkan istri dari adek ipar gue yang udah kayak ce es sampai geleng-geleng kepala. Nggak nyangka jika gue bisa nunjukkin 'taring' setelah sekian lama gue hanya diam saja. 

Pada intinya, yang gue tangkap dibalik segala kemarahan dan sikap acuh laki gue. Dia masih menginginkan kami bersama. Ya, sayangnya kedamaian itu tak berlangsung lama karena lagi-lagi gue dibohongi karena ternyata mereka masih menjalin kisah terlarang di belakang gue. 

Namun, saat gue di kampung halaman mertua ada seseoang yang memberi tahu gue. Bahwa sedikit banyaknya laki gue udah dibuat agar tidak bisa berpaling dari perempuan tersebut. Entahlah, hanya Tuhan yang tahu. 

Yang jelas, gue berhutang budi pada sebuah keluarga yang begitu ramah dan mau merangkul gue selama gue disana. Yang paling membekas adalah ketika gue melewati setiap malam selama gue berada di sana,  dimana gue amat merasa tersiksa dan benar-benar hampa karena jauh dari anak gue untuk pertama kalinya seumur hidup gue. Dan gue pun jauh dari bokap dan nyokap gue bahkan mereka tidak tahu kondisi gue sedang terpuruk. 

Akan tetapi mereka mengonkondisikan agar gue merasa nyaman berada di rumah sendiri. Sekaligus menyakinkan gue agar gue tegar dan memasrahkan segalanya pada Tuhan. Mungkin memang Tuhan yang telah mengirimkan mereka untuk gue sebagai pengganti kedua orang tua gue dan sodara2 gue untuk mendampingi gue disaat-saat paling dramatis dalam hidup. Gue sangat berterima kasih akan hal tersebut. Itu kejadian yang luar biasa dan diluar nalar dari sekian kejadian yang gue alami. 

Postingan populer dari blog ini

Independent Woman

Weekend

Ambang Batas4