Ambang Batas

Belakangan ini masalah gue keknya mencapai klimaks. Dimana gue benar-benar sudah terpojok dan tidak bisa meminta bantuan pada siapapun lagi. Gue sempat prustasi dengan semua itu. Lagipula, gue harus mikir realistis teman yang masih baik pun tidak bisa terus-menerus menolong gue. Terlebih berupa uang yang belum tentu gue bisa balikin cepat-cepat. 

Gue ambruk. Kepala gue berat. Pusing, nggak nafsu makan kecuali perut gue udah berasa melilit. Gue kek nggak punya kekuatan untuk menghadapi setiap hari sulit yang biasa gue lalui sebelumnya. Pikiran gue semaput dan semakin gelap ingin melakukan hal konyol. Gue berasa nggak napak di bumi ketika gue berjalan. Setiap helaan nafas gue rasakan begitu berat. 

Mata gue perih, tapi selalu tertahan. Kerjaan rumah berantakan. Tiap gue lihat ujung pisau udah kek melambai-lambai ke gue nyuruh gue agar akhiri saja semuanya. Tiap gue bawa motor rasanya pengen gue tabrakin diri aja ke sesuatu. Semua hal bego dan konyol itu kek terlintas begitu saja dalam benak gue. 

Gue merasa benar-benar sendirian, teman-teman yang gue kenal kek udah nggak resfect ma gue. Teman yang masih baik pun hanya baca pesan gue tanpa membalasnya. Gue menjerit dalam hati manggil bokap dan nyokap gue. Tapi, andai gue ceritain masalah gue pun mereka nggak bisa bantu gue. Keadaan mereka jauh lebih susah dari gue. Pun pasti hanya akan menambah beban pikiran mereka. 

Gue ingin cerita ma laki gue, bahwa saat ini gue butuh dia.  Gue sedang tidak baik-baik saja. Gue ingin dipeluk dan di tanya apa masalah gue, ayok hadapi bareng-bareng. Dan apapun itu dia akan merangkul gue, membantu masalah gue sampai kelar tanpa banyak bertanya atau menghakimi gue ini itu. 

Tapi, lagi dan lagi gue hanya bisa melihat punggungnya. Tanpa gue coba, gue udah tahu reaksinya akan seperti apa. Terlebih masalah uang dan selalu berulang. Dia pun udah pernah membantu gue semampunya. Tapi lagi lagi gue terjebak di masalah yang sama. Gue nggak yakin dia akan setabah gue ketika dulu gue menghadapi cobaan besar yang menimpanya. 

Dimana ketika itu dia sempat terjebak di pelukan wanita yang sama berulang kali, selama kurang lebih empat tahun ketabahan gue pun diuji. Sampai badai besar itu akhirnya berlalu, dan dia kembali. Tapi meski konsepnya sama dia dihadapkan dengan persoalan yang memeras otak juga perasaannya dan selalu berulang, masalah uang mungkin bagi dia sudah berbeda konsepnya. 

Karena harus gue akui, ketika dia sedang dalam kondisi 'oleng', dia tetap menjadi pria yang bertanggung jawab menafkahi gue lahir batin dan menyayangi anaknya. Ada kan laki yang sedang 'oleng' sampai tidak pulang-pulang bahkan tidak memberikan nafkah lahir batin yang seharusnya. Perbedaannya waktu itu, hati, pikiran, jiwa dan lelembutannya sudah bukan ke gue lagi. Kek lagu Armada dah, gue punya dia tapi nggak hatinya. 

Kalo ceritanya gue dijodohkan mungkin gue bisa lebih legowo tau diri kalo dasarnya dia nggak cinta, ketika suatu saat dia menemukan orang yang bisa membuatnya jatuh cinta ya sesakit apapun gue sadar diri. Tapi ni kan laen, gue menikah atas dasar sama-sama bucin. Jadi itu sangat berat buat gue menerima kenyataan. 

Balik lagi ke masalah gue ... 

Andai gue ngomong ma dia, keadaan yang sebenarnya. Gue rasa mungkin dia akan lebih memilih mendepak gue dalam kehidupannya. Jikapun dia memilih bertahan, gue pikir dia hanya akan lebih menjauh dari gue. Dan pernikahan gue entah kek apa bentuknya makin tidak karuan. Hanya berada di atap yang sama, masih terikat pernikahan dan anak-anak. Tapi kek rumah kosong, nggak ada jiwanya. Berjalan di jalan masing-masing. Itu kacau. 

Apa yang bisa gue lakukan lagi? Gue merasa kini gue udah diambang batas. Ketika hal konyol melintas lagi dan lagi di pikiran gue. Anehnya, anak gue yang paling kecil gelendotan mulu ma gue. Nggak bisa gue tinggalin kerja dikit aja. Anak gue kek nggak mau kehilangan gue sedikitpun dari pandangannya. Gue jadi nggak bisa ngapa-ngapain cuman momong dia sambil tiduran ngerasain pala n dada gue yang kian berat. 

Gue melihat 'sinyal' seakan Tuhan mengingatkan gue lewat anak gue bahwa gue nggak boleh menyerah pada hidup. Karena anak gue masih sangat membutuhkan gue, dan sudah jadi tugas, kewajiban dan tanggung jawab buat gue membesarkan dia. 

Gue memaksakan diri bergerak, tertawa bercanda ma bocil gue meski dalam hati gue kacau. Di titik ini gue berharap setidaknya ada satu orang yang menopang gue agar tetap berjalan dan menghadapi apapun yang bakal terjadi depan mata. Tapi tidak ada satu pun. Dan itu membuat gue semakin prustasi. 

Kenapa gue menuliskannya disini, entahlah ... 
Gimanapun gue harus tetap waras, tetap hidup, tetap berjalan menghadapi segala persoalan gue. Gimanapun gue harus berkata dan menguatkan diri sendiri, jika gue bisa melewati hal berat sebelumnya maka kali ini gue pun harus bisa. 


Postingan populer dari blog ini

Independent Woman

Weekend

Ambang Batas4