My Lullaby Part9

Setelah semua badai besar itu berlalu, gue memulai semuanya dari nol lagi. Gue udah pernah bahas sebelumnya, kalau laki gue tipe orang yang cuek. Tapi sekalinya dia niat nunjukkin kepedulian, bakal bikin gue ambyar. 

Sama ketika awal-awal masa pacaran, laki gue bersikap jauh lebih lembut dan romantis. Sayangnya , kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Entah karma untuk laki gue atau memang takdir pernikahan kami yang harus menempuh banyak ujian. 

Laki gue yang sekarang diuji tanpa berhenti oleh masalah keuangan. Dimulai dari gue yang abis-abisan bantuin Mpok gue. Ampe gue kejebak rentenir berulang kali. 

Laki gue sempet kurang terima karena gue terlalu menghendel masalah yang menimpa Mpok gue. Ya gue mikirnya saat itu yang mpok gue punya cuman gue. Nggak sedikit duit yang gue keluarin saat masalah Mpok gue memuncak. Karena gue pikir bisa menghendelnya tanpa harus melibatkan orang tua gue. 

Keuangan gue merosot tajam. Bergantian tiba-tiba ada masalah dari pihak keluarga dia yang menyeret keuangan kami juga. Setelah semuanya berakhir, gue yang udah lelah berantem juga melihat gelagat yang kurang bagus ketika laki gue bahas soal keuangan. Jadi nyari jalan sendiri. Itu kesalahan terbesar yang gue lalukan. Karena gue pikir andai gue bilang pun laki gue nggak bakalan setuju dengan apa yang gue lakukan. 

Saat gue meminta bantuan, orang lain cenderung nggak percaya gue sedang kesulitan. Ucapan gue dianggap guyonan. Yang mereka lihat suami gue punya penghasilan tetap, gue nyambi di kantin, dan nggak ngontrak. Mereka pikir gue hanya bercanda. Ketika gue perjelas pun sering sungkan karena laki gue nggak tahu dan mungkin mereka nggak mau ambil resiko takut nanti disalahkan atau kalau ada apa-apa nggak bisa ngomong ke laki gue. Padahal duit gaji dari suami gue yang pegang. 

Justru karena hal itu, gue merasa 'terbebani' ketika di tengah jalan gue kehabisan, gue parno takut dianggap nggak becus atur keuangan. Gue nyambi pun cuman cukup buat nutup keperluan harian, dan selalu keteteran pas ngadepin hari libur. Karena artinya pe er gue memastikan untuk resiko harian Jumat, sabtu n minggu plus modal usaha untuk hari seninnya. 

Tanpa penghasilan bulanan, laki gue tidak ada usaha sampingan. Dan gue pandai 'berbohong' menutupi keadaan semuanya aman padahal dibelakang layar sejak keuangan merosot tajam gue cari jalan buat nutupnya. Gue selalu merasa 'terbebani' dengan tanggung jawab itu plus gue sangat merasa bersalah ketika salah satu penyebab masalah tersebut karena gue dulu habis-habisan ngehendel masalah keluarga gue terutama mpok gue. 

Saat bokap nyokap gue telp meminta bantuan, gue nggak bisa mengatakan tidak. Karena gue tahu yang mereka punya adalah gue. Dan lagi-lagi gue pun jadi 'pembohong' yang handal karena memperlihatkan kondisi yang baik-baik saja di depam kedua orang tua gue saking gue nggak mau bikin mereka sedih dan nambahin beban pikiran mereka yang udah banyak. 

Karena terdesak ya gue ambil jalan cepat aja, gue tahu resikonya besar karena berbunga. Tapi terkadang dalam kondisi terdesak hanya itu satu-satunya jalan yang bisa gue ambil tanpa harus dihakimi atau dicecar berbagai pertanyaan yang penting gue ngerti aturan dan bisa bayar tepat waktu. Pada awalnya gue bisa mengatasi tanpa meninggalkan jejak. 

Lama-kelamaan mulai terasa nyekek, karena otomatis gaji dari laki gue perlahan gue alihkan untuk membayar cicilan. Sampai gue keteteran dan cuman bisa bayar bunganya doang. Yah, dari situlah dimulai masalah pelik gue. Sampai orangnya dateng ke rumah dan laki gue tahu. Tentu saja dia marah karena gue nggak bilang-bilang. 

Hubungan gue ma laki gue renggang lagi gara-gara soal keuangan. Gue merasa laki gue mulai itung-itungan. Gue sangat sedih dengan itu. Padahal gue pake bukan buat poya-poya juga ditambah kalau ingat dulu awal mulanya kami menikah pun tidak punya apa-apa. Gue merasa apa mungkin karena dulu dia sempat menjalin hubungan dengan perempuan berada, otomatis sedikit banyaknya wanita itu sering membuatnya nyaman secara materi. 

Meskipun laki gue bilang bukan itu alasannya tapi dari setiap jejak mereka yg lagi-lagi gue tahu udah lawas. Kek wanita itu mau beliin dia moge lah, ruko lah, tapi laki gue nolak. Dan jujur aja seperakpun gue ogah menikmatinya, sampe waktu itu gue tanya ini duit dari mana. Ditambah gue juga dapet info kalau laki gue sering juga pergi bareng pake mobil perempuan itu. Ya, namanya orang punya duit pasti ingin memberi yang terbaik. Sementara gue punya apa? 

Lebih-lebih laki gue  yang selalu kena batunya saat gue nggak bisa hendel masalah gue sendiri. Karena awalnya gue pikir pas lagi nggak ada uang, daripada ribut mending gue pinjem aja ke rentenir diem-diem tanpa sepengetauan laki gue. Tapi yang terjadi makin lama makin nyekek, dan akhirnya laki gue tahu. Meski marah-marah namun dia tetap berusaha membereskannya. 

Entah apa yang sedang terjadi. Gue kek diluar kendali. Dan setiap kali menghadapi kesulitan keuangan, misal gaji dia tengah bulan udah habis gue kelimpungan. Gue nggak mau pernikahan gue berantakan lagi, atau gue dianggap nggak becus ngatur keuangan. Jadi, berulang kali gue pun melakukan kesalahan yang sama. 

Gue semakin terobsesi untuk punya duit sendiri. Sementara kondisi tidak memungkinkan gue untuk bebas mencari. Ketika gue fokus dagang, ruang gerak dan waktu gue serba terbatas karena gue masih punya bocil. Jadi pengeluaran tidak sebanding dengan apa yang gue dapatkan. 

Alhasil ...

Hidup gue kacau lagi. Gue merasa ini ga adil, kenapa disaat dia yang diuji tapi responnya kayak gini. Gue juga terpaksa gue bilang ke keluarga gue, bahwa untuk seterusnya gue nggak bisa membantu mereka lagi dalam hal keuangan. Karena gue sadar satu hal, kalau bukan uang hasil sendiri terus gue pake buat bantuin mereka ujung-ujungnya tetap gue yang terpojok. 

Bahkan saat gue mulai membatasi diri ma keluarga gue, hasilnya tetap sama.  Mau ada masalah keuangan atau masalah lainnya gue sekarang nggak mau terlibat lagi. Ya, mereka pun mau paham posisi gue. Meski itu sulit dan membuat hati gue meradang karena selama ini bokap, nyokap, mpok dan abang gue berharao banyak dan mengandalkan gue. Hati gue remuk pas menyampaikan semua itu, di satu sisi gue pun menyadari bahwa sebesar apapun rasa sayang dan kepedulian gue sama mereka toh kini gue harus lebih fokus dan mengutamakan anak n laki gue sendiri. 

Dari masalah keuangan itu sebenarnya ada satu pemicu yang membuat gue sampe menghalalkan segala cara supaya gue m anak gue nggak kekurangan. Nggak neko-neko minta yang aneh-aneh, buat sehari-hari saja itu sudah cukup. 

Pemicu itu adalah ketika gue hamil anak kedua, gue nemu lagi chatan mesra laki gue sama seorang wanita. Yang lumayan intens dan akrab. Itu membuat gue murka dan merubah segalanya. Cukup sudah! Gue kini tidak tertarik lagi jadi istri solehah atau semacamnya. Yang ada diotak gue uang, gimana caranya gue bisa berdiri di kaki gue sendiri agar tidak direndahkan oleh siapapun lagi. 

Dan sampai saat ini, yang ada masalah gue makin semrawut. Laki gue udah lelah menghadapi masalah gue yang selalu sama. Teman-teman gue satu persatu hilang resfect ma gue karena gue nggak bisa menepati ucapan gue. Mo cerita ma orang tua pun keadaan mereka jauh lebih susah dari gue. 

Hidup gue kek ngambang nggak jelas. Gue coba izin cari kerja di tempat lain, tapi laki gue keberatan karena anak gue masih kecil dan pekerjaan dia juga segambreng. Gue kek terjebak di situasi sulit dan nggak menemukan jalan. 

Apa ini karma buat laki gue? Gue nggak tahu. Kenapa gue berpikir seperti itu, karena alurnya sama. Meski konsep masalahnya berbeda. Mungkin giliran dia sekarang yang diuji kesabarannya. Hanya Tuhan yang tahu. Gue hanya
bisa menjalani setiap hari dan berharap ada titik terang agar gue bisa menyelesaikan persoalan pelik yang menimpa gue dengan tangan gue sendiri. 

Soal pernikahan gue, gue nggak tahu sampai kapan laki gue bisa bersabar menghadapi situasi sulit ini. Seiring berjalannya waktu, gue hanya jadi 'cermin' untuknya. Dan mengikuti semua aturan mainnya. Hp, gue udah nggak pernah kepo-kepo lagi dan tidak peduli apa isinya. Bahkan saat gue tahu laki gue nggak ngesave nomor hp gue, gue pun melakukan hal yang sama. Karena kadang kalau gue save pun suka kelihatan status dia yang menurut gue 'ambigu'. Daripada kepikiran ya udahlah mending gue ga usah save aja. Gue ggak pernah mempermasalahkan apa-apa lagi benar-benar membebaskannya. Yang penting dia tetap menjalankan kewajibannnya sebagai suami. Begitu pun gue. 

Gue juga nggak pernah lagi menuntut kata love you, dia ingat hari ultah gue/hari pernikahan. Hal-hal sederhana yang bagi gue terasa spesial kayak gue sering minta dia bilang love you, inget tanggal moment penting, ya gue nggak bermaksud lebay hanya mencoba memupuk rasa kasih sayang biar tetap mekar kek kembang. Tapi karena berbeda karakter menurutnya itu bukan sesuatu yang patut diperbesar dan nggak terlalu penting ya udah akhirnya gue pun terbiasa menganggap hal-hal tersebut jadi biasa saja. 

Karena gue tahu jika gue berharap menurut versi gue nggak bakalan terjadi ya udah sekarang gue hanya mencoba fokus saja membahagiakan diri gue sendiri dan anak-anak, tetapi gue pun tetap berusaha menjalankan kewajiban gue sebagai istri. 

Ya, itulah kisah hidup gue. Semoga bisa mengambil hikmah dari apa yang gue sampaikan. 

Postingan populer dari blog ini

Independent Woman

Weekend

Ambang Batas4