Ambang Batas2

Ini benar-benar bulan yang berat buat gue lalui. Mungkin sebenarnya sejak pergantian tahun, gue udah merasakan hal tersebut. Kek semuanya sama aja, meski tahun berganti. Awal yang buruk, mungkin sampai pertengahan tahun akan terus seperti ini buat gue. Atau sampai gue menemukan jalan keluar yang benar-benar bisa menyelesaikan semuanya. 

Seperti yang udah gue ceritakan, belakangan gue merasa hampir semua teman tidak lagi respect ama gue. Termasuk temen-temen yang masih baik pun sekarang benar-benar sudah tidak membalas pesan gue. Itu sangat menyedihkan dan menyakitkan ketika mengenang bahwa dahulu gue dan mereka pernah dekat. Banyak moment berharga. Sekali lagi, gue belum bisa move on dari masa-masa itu. 

Saat sekolah menengah pertama, gue berada di posisi paling puncak. Entah dalam prestasi, gue menyabet juara umum. Dimana kala itu, nama gue disebut di tengah-tengah lapangan. Semua mata tertuju ma gue. Begitu juga dalam organisasi, dimana gue merasa banyak bet 'anak buah'. Teman dan sahabat segambreng. 

Di SMA, meski dalam organisasi gue nggak terlalu menonjol. Maupun dalam hal pertemaan, gue nggak masuk di 'genk' terkenal. Tapi, gue berteman baik dengan beberapa diantara mereka. Secara prestasi meski ga sepuncak di SMP, gue masih bisa 3 atau 10 besar dan masuk IPA. Ya, bisa dibilang masa remaja dan sekolah gue begitu berwarna dan juga seru. 

Itu yang membuat hati gue meradang, dari yang punya begitu banyak teman dan sahabat sampai gue benar-benar merasa sendirian. Semakin bertambahnya usia, hal yang menjadi prinsip gue dulu secara ironis sekarang berbanding terbalik. Dulu gue nggak terlalu memusingkan ada tidaknya uang. Kenyataan pait getirnya hidup sekarang ini justru membuat gue berpikir sebaliknya. 

Ketika gue mengira gue bisa hidup bahagia dengan cinta. Justru uang bisa menghancurkan ikatan itu. Seseorang pernah berkata ma gue, uang memang bukan segalanya tapi uang mempermudah segalanya. Ketika kita memiliki uang, maka segala hal akan mudah. Orang-orang akan dengan sendirinya menghargai keberadaan kita. 

Ya, sayangnya gue sangat terlambat menyadari hal ini. Mata hati gue baru kebuka ketika berulang kali gue merasa dipecundangi dunia juga prinsip gue sendiri. Pun entah sudah berapa kali gue merasa terhina dina karena uang. 

Ketika tujuan hidup gue berubah. Dimana sekarang di pikiran gue cuman duit, gimana caranya gue bisa menghasilkan uang dengan keringat gue sendiri. Karena percayalah, mau uang harta banda sebanyak apa jika itu bukan hasil keringat sendiri bakalan nyesek pada akhirnya. Kita nggak punya kebebasan dan hak penuh. Itu faktanya! 

Ketika gue mencoba meraih, menghalalkan segala cara, melabrak batasan yang ada saking gue muak dipandang sebelah mata. Yang terjadi malah sebaliknya, gue semakin terpuruk dan terjelembab ke dasar yang paling dalam. 

Saat cinta bukan lagi menjadi prioritas utama, gue alihkan segalanya untuk mendapatkan uang bagaimanapun caranya. Gue ingin berdiri di kaki gue sendiri, hingga tak ada satupun orang yang merendahkan gue lagi. Namun, ruang gerak juga waktu yang gue miliki serba terbatas. 

Gue stuck di garis nasib yang menempatkan gue di posisi ini. Setiap gue ingin memutar roda, dengan jalan yang berbeda tapi dan tapi gue merasa semua sudut tertutup dan menyudutkan gue kembali ke titik ini. 

Gue inget, katanya "jika kita berharap hasil yang berbeda namun tetap memakai cara yang sama. Maka hasilnya akan tetap sama." 

Itu yang membuat gue berpikir, mungkin gue harus keluar zona yang sekarang. Katakan gue coba cari pekerjaan lain di luar. Entah kenapa gue mikir itu bakal merubah jalan hidup gue saat ini. Kenapa? 

Gue mengenal diri gue sendiri. Lebih cocok dengan segala sesuatu yang terorganisir dan sudah terjadwal ketimbang apa-apa diatur sendiri. Itu membuat gue jauh lebih fokus dan produktif. Karena gue tipikal orang yang kalo udah mulai kerja tidak bisa ada gangguan. Ketika gue fokus, gue menyelesaikan banyak hal. Tapi ketika gue terganggu, mood gue jadi jelek. Maka semuanya bakal ambyar. 

Yang kedua, bertemu orang-orang baru, suasana baru akan membuat pikiran gue pun baru. Karena jujur aja, saking terlalu sering gue diabaikan teman gue merasa sendirian. Andai gue ada di lingkungan berbeda pasti hal positif pun gue bisa serap. Katakan gue ngerasa memiliki kembali teman. 

Namun, keadaan tidak mendukung gue untuk keluar dari zona yang sekarang. Anak masih bocil, belum genap 3 tahun. Begitu pula yang gede, memasuki remaja. Gue kek punya tiga bayi, yang bocil memang masih butuh perhatian ekstra dari gue. Yang gede pun kalo punya anak laki apa-apa ingin gue perhatiin. Tambah suami yang memang tipe ingin semua dilayani oleh istri. Sebenarnya andai gue bisaaaa ae, hijrah sekarang. Itu bakalan jadi ladang pahala buat gue. Karena gue semata-mata melakukannya Lillah. Ikhlas. 

Tapi seperti yang udah pernah gue bilang, gue belum bisa kayak gitu. Gue masih berharap timbal balik dari anak2 dan suami gue. Gue menginginkan anak2 gue nurut dan sayang ma gue, gue menginginkan laki gue pun menunjukkan kepedulian dan perhatiaannya ke gue. Ketika gue nggak mendapatkan apa yang gue harapkan selalu muncul kesedihan. Kok gini ya? Padahal gue udah mati-matian memprioritaskan mereka. Saat anak-anak gue atau laki gue belum bisa seperti itu ke gue, hati gue suka meradang. Dan itu tandanya gue masih belum bisa ikhlas. Secara manusiawi hal wajar, karena yang gue punya saat ini ya suami dan anak-anak bukan? 

Tapi ketika gue memutuskan untuk melakukan segala sesuatu karena Alloh. Berarti gue nggak boleh mengeluh. Mo gue mendapatkan prioritas atau kepedulian yang sama dari anak-anak, suami atau orang-orang yang ada di sekitar gue mo nggak kek. Gue harus tetap meresponnya dengan senyuman, right? 

Ini juga yang membuat gue mikir keras. Apa itu arti keikhlasan di mata Tuhan? Ketika gue beribadah, gue mengharapkan pahala. Ketika gue berdoa, gue berharap doa itu dikabulkan plek seperti keinginan gue. Pun ketika gue mendambakan akhirat adalah surga. Apa artinya keikhlasan jika gue masih berharap semua itu. Ibadah ya ibadah aja, karena sadar diri itu adalah kewajiban. Bukan Tuhan yang butuh, tapi kita yang butuh. Mo doa dikabul mo nggak, akhirat surga atau tidak bukankah itu hak Tuhan yang memutuskan? 

Ya, gue masih berpikir seputar itu. Karena gue nggak mau saja terulang kembali apa yang udah gue lakukan hanya berakhir kesia-siaan. Gue takut gue nggak bisa menaklukan sisi humanitas gue sendiri. Tapi, di satu sisi gue juga takut kelamaan mikir malah gue kehabisan waktu. 

Segala perasaan dan semua pemikiran seolah bercampur baur menjadi satu. Gue tertawa dan menangis di waktu yang sama. Gue hanya berharap ada titik terang yang bisa menolong gue keluar dari segala persoalan yang gue sedang hadapi sekarang. 

Tapi dengan tidak adanya kepedulian dari teman, ketidakberdayaan keluarga gue, ketidaksinkronan ma laki gue. Plus juga gue merasa semakin jauh dengan Tuhan gue, so ... Apa ya gue merasa idup gue kek ngambang nggak jelas. 

Satu-satunya alasan yang memaksa gue untuk tidak boleh menyerah ya anak-anak gue. Entah nanti mereka akan sayang dan peduli ma gue seperti yang gue harapkan, yang gue tahu saat ini seburuk-buruknya gue masih tetap berguna untuk mereka. Dan gue ingin mereka tahu, bahwa gue pernah berjuang dengan keras untuk tetap memastikan selalu berada mendampingi mereka tumbuh. Plus, memastikan keluarganya tetap utuh. Ya seperti itulah yang gue pikirkan saat ini. 


Postingan populer dari blog ini

Independent Woman

Weekend

Ambang Batas4