Prasangka

Sebelum gue lanjutin cerita keluarga gue, gue tadi nemu postingan soal prasangka. Intinya gue seakan diingatkan kalau prasangka Tuhan bagaimana prasangka hambaNya. 

Gue cuma bisa menghela nafas berat. Karena jujur aja, gue juga pernah ada di posisi dimana gue merasa iman gue saat itu menanjak. Sholat nggak bolong dan selalu awal waktu. Gue juga sempetin ngaji dan terjemahannya. Di sela-sela aktifitas harian gue sambil dzikir dalam hati. Pun ketika gue hendak tidur yang menjadi penghantar sampe gue terlelap ya dzikir lagi. 

Tapi seperti yang udah gue bilang, alur hidup gue saat iman gue nanjak atau turun ya tetap sama. Yang membedakan hanyalah saat itu batin gue lebih tenang. Dan jauh lebih sabar. 

Saat ini gue pun ingin kembali ke titik itu. Namun, gue merasa terlalu jauh berlari hingga gue lupa jalan untuk pulang. Mungkin lebih tepatnya gue merasa kehilangan jati diri dan tujuan hidup gue lagi. Persis ketika pernikahan gue diuji. Saat itu yang dihajar mental oleh masalah yang bersifat abstrak. Katakan soal perasaan gue. Meski cangkupannya jauh lebih kompleks. Karena andai kata gue menyerah ketika itu, gue mempertaruhkan kebahagiaan anak dan orang tua gue. 

Bedanya, masalah yang gue hadapi sekarang ini berupa uang. Dan duit itu bukan benda abstrak. Harus ada solusi yang real depan mata. Gue merasa segala cara segala jalan udah gue tempuh tapi hasilnya tidak ada. Gue yakin Tuhan Maha Kaya, gue tinggal meminta. Andai Tuhan berkehandak, bisa jadi ngasih gue solusi dalam satu kedipan mata dari jalan yang tidak diduga-duga. 

Tapi, ilmu Tuhan bagi gue terlalu sulit dan tinggi untuk di cerna. Tidak serta merta gue meminta tiba-tiba langsung diijabah begitu saja. Dan, beberapa konsep dari terkabulnya sebuah doa itu prosesnya panjang. Ada yang langsung dikabulkan plek kek keinginan kita. Ada yang diganti untuk mengurangi dosa-dosa kita. Bahkan ada yang dialihkan agar kita terhindar dari marabahaya. 

Belum lagi konsep, apa yang menurut kita baik belum tentu baik di mata Tuhan. Pun sebaliknya, menurut kita nggak banget justru itu terbaik yang Tuhan berikan. Segala jalan sebenarnya merujuk pada satu kesimpulan, agar gue hanya bersandar padaNya. 

Tapi gue terlalu takut. Gue takut gue nggak bisa menjalaninýa hingga gue takut apa yang sudah gue tempuh hanya berakhir sia-sia. Ketika apa yang terjadi tidak sesuai dengan harapan. Gue takut hanya membuat gue bukannya jadi hamba Tuhan yang berserah tapi sebaliknya. 

Entahlah, gue masih bingung menentukan pilihan. Karena ketika kalaupun gue siap memilih jalan Tuhan, itu artinya gue harus konsisten selamanya. Dan gue masih nggak yakin gue bisa melakukannya. Dengan segala tekanan yang gue hadapi, atmosfir sekitar yang memeras kesabaran mental gue, apa gue bisa menghilangkan segala emosi dan perasaan negatif yang ditimbulkan dari rasa sakit. Itu yang membuat gue masih takut. 

Sementara gue kek dikejar waktu, soal usia gue udah nggak lagi muda. Soal anak yang semakin dewasa. Begitupun masalah gue yang harus segera menemukan solusinya. Semakin gue pikirin pala gue makin berat, yang ada malah jatuh sakit. Kalau gue sakit, rumah berantakan, anak nggak keurus, pekerjaaan terbengkalai, plus rawan pertengkaran dengan pasangan. 

Pada akhirnya gue membuang segala pemikiran tersebut, dan hanya bisa menjalaninya. 

Postingan populer dari blog ini

Independent Woman

Weekend

Ambang Batas4